“Silahkan sebar berita buruk tentang saya. Saya tidak peduli selama saya masih tetap kaya”, begitulah tanggapan seorang direktur perusahaan asuransi besar asal Amerika Serikat, ketika dikonfrontasi soal pelanggaran yang dilakukan perusahaannya. Ini dialog di dalam salah satu film yang diputar di stasiun televisi asing. Tentu saja dialog ini fiksi. Akan tetapi cara berpikir yang ada di belakang sang direktur tersebut identik dengan cara berpikir para konglomerat di seluruh dunia; tidak peduli dengan dunia, selama ia masih tetap kaya.

Saya menduga sang direktur tidak sendirian. Ratusan ribu direktur lainnya dari seluruh dunia hidup dan bertindak dengan pola berpikir serupa. Kerakusan adalah sifat yang inheren di dalam diri manusia. Sifat itu tidak akan berkembang, selama struktur sosial tidak mendukung perkembangannya.

Kapitalisme dalam segala bentuknya adalah sistem sosial yang secara langsung mendorong dan melestarikan kerakusan, baik di level individu maupun sosial. Kapitalisme adalah pelembagaan kerakusan. Yang lenyap di dalam kapitalisme adalah relasi yang manusiawi dan solidaritas sebagai komunitas. Relasi digantikan menjadi transaksi.

Seberapapun kita mengutuknya sulit untuk memikirkan dunia tanpa kapitalisme sekarang ini. Kapitalisme sebagai sistem yang mendorong dan melestarikan penumpukan modal sebesar-besarnya sudah berurat akar pada peradaban dunia. Yang bisa dilakukan adalah menggoyang pengandaian-pengandaian yang menjadi dasar dari sistem kapitalisme, yakni tentang apa artinya menjadi komunitas. Komunitas dibentuk melalui solidaritas, dan solidaritas dibentuk di dalam upaya tanpa lelah untuk melampaui kerakusan.

Esensi Kerakusan

Kerakusan itu inheren di dalam diri manusia. Ia tertanam jauh di dalam kemanusiaan setiap orang, dan menunggu untuk keluar serta merangsek yang ada di sekitarnya. Ada dua kondisi hakiki manusia yang menjadi rahim bagi kerakusan, yakni hasrat untuk berkuasa dan rasa kurang yang tertanam di dalam diri setiap orang. Aku rakus maka aku ada, itulah diktum yang menjadi dasar dari sistem kapitalisme.

Lebih dari seratus tahun lalu, Nietzsche mengingatkan kita, bahwa peradaban didorong oleh suatu kekuatan purba yang tersembunyi, yakni kehendak untuk berkuasa. Moralitas dan agama adalah simbol luhur yang menutupi fakta mengerikan di baliknya, yakni kehendak untuk berkuasa. Atas nama moralitas orang menguasai dan menindas. Atas nama agama perang dan penghancuran dilakukan.

Sains dan teknologi adalah hasil ciptaan manusia yang bertujuan untuk menguasai dan mengontrol alam demi kepentingannya sendiri. Retorika kebaikan yang ada di dalam penciptaan dan penerapan teknologi sebenarnya menyembunyikan fakta penghancuran alam yang berkelanjutan. Sains dan teknologi adalah simbol kerakusan manusia yang terselubung, namun sangat ganas. Kedokteran adalah simbol kehendak manusia untuk menguasai kematian.

Kehendak untuk berkuasa tidak hanya tertanam sebagai kekuatan purba pembentuk peradaban, tetapi juga di dalam diri setiap individu. Kehendak untuk berkuasa inilah yang menjadi kondisi-kondisi yang melahirkan tindak rakus di dalam aktivitas sosial manusia. Kehendak untuk berkuasa itu membutakan. Ia membuat manusia melupakan nilai-nilai yang membuat kehidupan itu berarti.

Seorang filsuf asal Perancis, Jacques Lacan, pernah berpendapat, bahwa manusia adalah subyek yang selalu merasa kurang (lack). Jauh di dalam dirinya, manusia terus mencari tanpa pernah sungguh menemukan. Hidupnya bagaikan perjalanan yang tak mengenal kata akhir. Fakta ini mendorong orang untuk menaklukkan, dan menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya kerakusan.

Kapitalisme hidup dan berkembang di dalam pola berpikir penguasaan dan adanya rasa kurang yang tertanam di dalam diri manusia. Kehendak untuk berkuasa dan rasa kurang tersebut menciptakan kecemasan yang sangat mendasar, yakni kecemasan tentang keberadaan dirinya. Dengan pesona materialnya kapitalisme berusaha menenangkan kecemasan tersebut, walaupun selalu jatuh di dalam kegagalan. Inilah awal lahirnya berbagai bentuk kelainan jiwa di dalam masyarakat modern. Kegilaan (madness) lahir dan bertumbuh bersama dengan kapitalisme.

Melampaui Kerakusan

Sejuta kebijakan tidak akan bisa mengubah kerakusan yang bercokol pada diri individu dan masyarakat. Yang sungguh diperlukan adalah perubahan persepsi tentang dunia. Konsep aku (I) tidak bisa lagi dipandang sebagai aku yang terpisah dari kamu dan kalian, melainkan aku sebagai bagian dari kami. Konsep aku adalah konsep sesat yang segera harus direvisi.

Pada level kolektif konsep kita (we) harus diubah menjadi kami (us). Kita itu mengikat yang sama, dan memisahkan yang berbeda. Kekitaan adalah awal dari prasangka, dan prasangka adalah pemicu konflik yang paling efektif. Sementara kami itu ingin memeluk semua. Kami tidak memisahkan melainkan ingin menyatukan diri secara harmonis dengan yang berbeda.

Kekamian lahir dari kesadaran penuh, bahwa manusia saling membutuhkan, lepas dari segala perbedaan yang sudah ada, maupun yang akan ada. Kerakusan mengancam kekamian maka harus dilenyapkan. Masyarakat yang hidup dengan paradigma kekitaan perlahan namun pasti akan lenyap ditelan perubahan jaman. Aku rakus maka aku ada adalah diktum yang mengarah pada perpecahan dan kehancuran. Diktum baru yang menunggu untuk lahir adalah; aku menjadi kami, maka aku ada. Kami ada. ***

0 komentar