kontakrakyat,

Abstrak oleh penyunting: Istilah "Dunia Ketiga" yang umum digunakan ternyata kurang dapat menangkap perkembangan politik saat ini dibandingkan pembagian dunia oleh Sukarno menjadi dua kubu: kubu OLDEFO, singkatan dari Old Established Forces yang dapat diartikan sebagai Kekuatan lama yang masih bercokol; dan kubu NEFO, singkatan dari New Emerging Forces yang secara kasar diterjemahkan menjadi Kekuatan baru yang sedang lahir. Negeri-negeri yang sebelumnya bergabung dengan blok sosialis, seperti Kuba dan Vietnam, saat ini lebih bergerak melawan OLDEFO sebagai bagian dari perlawanan “dunia ketiga” daripada sebuah blok sosialis. Di negeri kapitalis maju, aksi-aksi anti-globalisasi pada hakekatnya bersolidaritas dengan negeri sedang berkembang sekaligus melawan elit-elit mapan di negeri mereka sendiri. Indonesia secara historik pernah menjadi bagian terdepan dari NEFO pada masa Bung Karno, namun hal itu segera dibalikkan dengan berkuasanya Suharto. Gagasan kongres rakyat semestinya diwujudkan untuk ajang formulasi strategi bersama antara elemen-elemen pembaruan dan kerakyatan dalam menghadapi OLDEFO dan menghantar Indonesia keluar dari krisis ciptaan Orde-Baru dan IMF-CGI, serta bergabung dengan kekuatan NEFO
Oldefo vs Nefo (Max Lane)

internasional yang sedang bangkit melalui proses World Social Forum.

Indonesia sekarang menghadapi serangan dari negara-negara industri, terutama Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Australia. Serangan tersebut berupa serangan ekonomi. Ekonomi Indonesia dipaksa dibuka selebar-lebarnya untuk barang komoditas dari Barat masuk tanpa batas. Indonesia dipaksa mengikuti “ideologi” free trade dalam sebuat situasi ekonomi yang kuat, yaitu kekuatan ekonomi transnational corporations, International Monetary Fund dan Bank Dunia bisa memanfaatkan “kebebasan” tersebut untuk menguras habis kekayaan Indonesia.

Serangan ini sebenarnya sedang berlangsung terhadap semua elemen “Dunia Ketiga”. Namun, serangan ini juga melahirkan arus balik. Dan arus balik perlawanan terhadap IMF, World Bank, dan transnational corporations (konglomerat negara kaya) menunjukkan bahwa konsep “Dunia Ketiga” yang dirumuskan oleh Mao Tse Tung tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya. Ternyata yang lebih tepat adalah konsep yang dirumuskan Bung Karno pada tahun 1960-an. Memang betul bahwa analisis-analisis Mao Tse Tung meninggalkan istilah ”Dunia Ketiga” dalam pembendaharan kata politik dunia sampai sekarang. Namun, ternyata adalah konsep Bung Karno yang lebih akurat berhasil menangkap perkembangan politik global era millenium baru. Mao membagi dunia ke dalam tiga kubu. Dunia pertama adalah dunia negara-negara industri kapitalis. Dunia kedua ialah negara-negara sosialis, di blok Uni Soviet. Dunia ketiga adalah negara-negera sedang berkembang, mantan koloni yang juga, menurut Mao, merupakan motor penggerak perubahan dunia. Sukarno tidak menerima analisis Mao. Dengan lebih cermat, ia melihat dinamika revolusioner di lapangan pergerakan sendiri. Bung Karno membagi dunia ke dalam hanya dua kubu. Pertama, kubu OLDEFO atau Old Emerging Forces, terdiri dari pemerintah-pemerintah negara industri kapitalis bersama-sama elite feudal dan kompradore di negara-negara sedang berkembang. Di sisi lain terdapat NEFO, atau New Emerging Forces, yang merupakan pemerintah, bangsa, dan rakyat progresif negara sedang berkembang serta bersama-sama rakyat-rakyat progresif di negara industri kapitalis.

Pada zaman sekarang peta ini lebih jelas. Blok Soviet sudah runtuh. Pemerintah-pemerintah eks blok sosialis yang masih ada sudah menjadi bagian dari pemerintah-pemerintah progresif dunia negara sedang berkembang. Pemerintah Kuba dan Vietnam, misalnya, lebih bergerak sebagai bagian dari perlawanan “dunia ketiga” daripada sebuah blok sosialis. Selain Kuba dan Vietnam juga ada negara-negara ¨dunia ketiga¨ lain yang ambil peranan melawan kontrol OLDEFO. Pemerintah Venezuela adalah contoh yang baik. Bahkan, meskipun hanya dalam hal-hal tertentu saja, cukup banyak pemerintah negara-negara sedang berkembang sudah mulai membangkang. Malaysia, misalnya, dalam hal kontrol mata uangnya.

World Trade Organisation (WTO) juga diwarnai oleh perlawanan dunia sedang berkembang dalam hal-hal seperti kontrol OLDEFO terhadap hak paten dan lain sebagainya. Di dunia negara industri maju sendiri dalam lima tahun terakhir ini juga sangat terasa mulai berkembang new emerging forces di dalam masyarakatnya sendiri.

Sejak demonstrasi-demonstrasi di Seattle di Amerika Serikat dua tahun yang lalu gerakan “antiglobalisasi” sudah meluas ke mana-mana di dunia negara-negara industri. Demonstrasi-demonstrasi massal yang menuntut penghapusan utang luar negeri Dunia Ketiga menjamur di berbagai negara-negara di Amerika Utara, Eropa, dan juga di Australia. Demonstrasi-demonstrasi ini juga melawan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) yang memaksakan paket kebijakan neo-liberal ke seluruh negara Dunia Ketiga. Gerakan antiglobalisasi ini pada hakekatnya merupakan gerakan solidaritas dengan rakyat negara-negara sedang berkembang. Sekaligus melawan elite-elite mapan di Barat itu sendiri. Tentu saja gerakan antiglobalisasi ini bukan gerakan yang melawan semakin meluasnya dan semakin intensnya hubangan antarnegara dalam segala bidang. Gerakan anti-globalisasi yang sedang berkembang ini melawan mengglobalnya upaya kaum OLDEFOs untuk memaksakan kebijakan neo-liberal yang menyerahkan segala hal ke kontrol sektor swasta demi laba atau profit. Tuntutan pokok gerakan antiglobalisasi ini adalah pembatalan utang luar negeri dunia ketiga, pembubaran IMF dan WB, dan penghentian terhadap semua proses penjualan aset publik pada swasta. Kekuatan NEFOs abad ke-21 sudah mulai berkumpul untuk mencari strategi dan wadah untuk teruskan perjuangannya. Sudah dua kali gerakan-gerakal sosial, LSM-LSM, aktivis-aktivis politik dari seluruh dunia sudah berkumpul di kota Porto Allegre di Brasil dan menyelenggarakan World Social Forum.

Dalam World Social Forum bulan Januari yang lalu lebih dari 60 ibu aktivis berkumpul dari seluruh dunia untuk membicarakan strategi untuk menghadapi IMF, WB, serta Washington, London, Berlin, Tokyo, dan Canberra. Bulan Januari mendatang akan diselenggarakan juga Asia Social Forum yang pertama, disusul oleh Asia Pacific Anti-Military Social Forum di Manila pada bulan Augustus, 2003.

Dulu Bung Karno berusaha mendirikan CONEFO atau Conferention New Emerging Forces. Sebenarnya World Social Forum di Porto Allegre juga merupakan usaha ke dalam arah yang sama. Prosesnya memang belum selesai. Masih ada banyak perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Masih cukup banyak kekuatan-kekuatan yang belum masuk ke proses ini. Proses meluasnya wadah WSF ini persis merupakan proses penguatan NEFO yang dibayangkan Sukarno. Sebenarnya ini adalah proses membangun kembali sebuah front antiimperialisme.

NEFO di Indonesia

Dalam konsep Bung Karno dulu negara dan rakyat Indonesia merupakan bagian dari NEFO. Namun, dalam 40 tahun terakhir ini situasi sudah berubah. Kekuatan OLDEFO sudah berhasil merebut pengaruh dominan dalam pemerintahan dan negara Indonesia. Ini mulai ketika Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang sekarang bernama Consultative Group on Indonesia, didirikan pada tahun 1967.

Lembaga ini merupakan kumpulan dari semua negara industri maju imperialis serta IMF dan WB. Pemerintah Orde Baru yang mengikuti strategi pembangunan yang menggantungkan diri pada utang luar negeri dan investasi asing harus melaporkan hasil kerjanya setiap tahun pada IGGI/CGI. Baru kalau lembaga OLDEFO ini puas dengan garis kebijakan pemerintah Soeharto, pinjaman disalurkan ke Indonesia. Sistem ini terus berlangsung sampai sekarang, hanya sejak krismon, IMF sendiri yang ambil alih kontrol OLDEFO terhadap Indonesia. CGI dan WB mengambil posisi kedua. Selama periode 40 tahun ini juga kesadaran tentang proses eksploitasi dan kontrol asing terhadap ekonomi Indonesia sangat berkurang. Orde Baru dengan beking Barat terus berpropaganda bahwa intergrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia, melalui kerja sama dengan IGGI, IMF, WB dan investasi asing adalah satu-satunya cara membangun Indonesia.

Strategi ini membawa Indonesia ke krismon 1997. Strategi ini juga tidak menyiapkan Indonesia untuk menghadapi era sekarang di mana investasi modal untuk produksi justru semakin terpusat di negara-negara industri dengan makin sedikit investasi yang mengalir ke dunia sedang berkembang. Tetap juga pemerintah Indonesia sekarang berpropaganda bahwa IMF dan investasi asing adalah jalan keluar krisis, meskipun semua angka-angka menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan investasi asing di Indonesia. Kesadaran antiimperialisme, kesadaran menolak kontrol asing di bidang ekonomi, saat ini mulai bangkit lagi. Kesadaran ini juga sedang melahirkan kembali kekuatan NEFO dalam negeri. Sebenarnya proses ini sudah mulai tahun 1989 dengan gerakan melawan proyek Bank Dunia untuk membangun bendungan Kedungombo. Terus berkembang sebuah gerakan perlawanan terhadap Orde Baru. Perlawanan tersebut sebenarnya berfokus pada perlawanan terhadap kediktatoran Soeharto dan militerisme. Namun, bagaimanapun juga itu merupakan perlawanan terhadap mekanisme kontrol Barat, kontrol OLDEFO terhadap Indonesia. Memang Orde Baru adalah alat bukan saja dari keluarga diktator dan konglomerat, tetapi dari kekuatan OLDEFO asing. Betapa banyak keuntungan diraup oleh perusahan-perusahan asing dan bank asing selama Orde Baru, tetapi bagi rakyat Indonesia hanya meninggalkan krismon saja.

Yang sekarang sering disebut sebagai “civil society”, atau kadang-kadang “ornop”, atau gerakan sosial, dan juga gerakan mahasiswa, serikat buruh dan tani, organisasi perempuan yang berkembang sebagai bagian dari perlawanan terhadap Orde Baru merupakan inti daripada NEFO baru di Indonesia. Sebenarnya juga cukup banyak kekuatan-kekuatan NEFO yang sedang berkembang di dalam tubuh organisasi lama juga. Di kalangan grass-roots Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan kalangan pemuda mahasiswa Nahdlatul Ulama jiwa NEFO juga cukup kuat. NEFO Indonesia sendiri sekarang berdiri di persimpangan jalan. Kekuatan ini sudah berkembang cukup luas dan kuat tetapi sering berkembang spontan, mengangkat satu isyu saja, berpandangan lokal, atau belum mau melihat keluar. Situasi ini bisa dimengerti. Semua perlawanan ini berkembang di dalam suatu situasi dan suasana tanpa ideologi dan tanpa kebebasan.

Usul-usul yang baru-baru ini muncul untuk menyelenggarakan sebuah kongres rakyat sangat tepat untuk situasi sekarang di Indonesia. Sudah waktunya semua elemen-elemen perlawanan terhadap Orde Baru dan semua elemen-elemen pembaruan dan kerakyatan berkumpul untuk mencari strategi menghadapi OLDEFO dan mengantar Indonesia keluar krisis ciptaan strategi Orde Baru dan CGI-IMF. Memang sulit membayangkan bentuk dan hasil sebuah kongres seperti ini. Sebuah kongres rakyat harus bisa mengumpulkan semua elemen sosial perlawanan yang seluas-luasnya. Pasti akan ada banyak perdebatan. Mungkin pertama kali sidang belum tentu semua problem akan terpecahkan. Namun, sebuah kongres rakyat seperti itu akan berjasa besar dan memulai proses penguatan kekuatan NEFO Indonesia. Banyak negara dan wilayah sedang mengusahakan menyelenggarakan pertemuan serupa, mengikut contoh World Social Forum di Brasil.

Sebuah kongres rakyat Indonesia akan sekaligus menghidupkan kembali semangat revolusi nasional Indonesia sebagai penerusan ide Konferensi NEFO Indonesia dan membantu rakyat Indonesia bergabung dengan kekuatan NEFO internasional yang sedang bangkit melalu proses World Social Forum. Dalam proses World Social Forum yang diutamakan ialah gerakan-gerakan sosial yang berakar ke massa dan mampu memobilisasikan massa. Sesungguhnya ini pun merupakan penerusan konsep revolusi nasional Indonesia: machtsvorming dan massa actie.

(sumber:nefos.org)

Read More......

Rencana IMF Bukan Saja Gagal Menghidupkan Kembali Ekonomi Asia Yang Bermasalah, Tapi Justru Memperburuk Situasi. Kini Saatnya Menelan Pil Pahit.

Apa pun yang akan terjadi kemudian, Kejatuhan Besar Asia sudah tercatat dalam buku rekor. Dalam sejarah peristiwa ekonomi, belum pernah ada - tidak pula pada tahun-tahun permulaan the Depression - bagian ekonomi dunia yang demikian besar mengalami kejatuhan yang begitu dahsyat dari masa kejayaannya. Amerika Latin yang pernah menjadi kampiun dalam hal ketidakstabilan ekonomi, kini telah kehilangan gelarnya. Dibandingkan dengan kehancuran Asia, krisis tequila pada 1995 kini tampak seperti ayunan yang tak begitu berarti; dan krisis utang yang pernah begitu menakutkan pada tahun 1980an jadi seperti peristiwa yang biasa-biasa saja.

Lebih lagi, kejatuhan Asia belum mencapai dasarnya: Meskipun mata uang wilayah tersebut tampak berhenti merosot pada saat ini, ekonomi riilnya semakin lemah, bukannya menguat. Hong Kong baru mengumumkan bahwa ekonominya menyusut 2,8% dalam kuartal pertama 1998, resesi terbesarnya sejak Perang Dunia II. Para ekonom memprediksikan bahwa PDB Indonesia akan jatuh ke angka menggemparkan sebesar 15,1% pada tahun ini. Bandingkanlah dengan tahun resesi terburuk di Amerika paska perang - 1982 - ketika ekonomi menyusut sebesar 2,1%. Dan rupanya utang buruk (bad debt) bank Jepang bukanlah $550 milyar, seperti dilaporkan sebelumnya, tapi angkanya lebih telak lagi: $1 trilyun. Dampak negatif dari berita-berita buruk ini baru belakangan saja terasa, salah satu yang tak terlalu parah adalah kecemasan pasar modal AS.

Sudah terdapat banyak tuduhan tentang siapa yang harus disalahkan atas bencana ini. Apakah ini hukuman terhadap dosa-dosa Asia ataukah ulah nakal spekulator jahat? Apakah IMF melakukan yang terbaik dalam situasi yang buruk ataukah ia sesungguhnya menyiram bensin ke api? Argumen-argumen ini memiliki beberapa kebenaran: Mencari tahu siapa yang salah menangani Asia dapat membantu dunia mencegah krisis ini, atau krisis berikutnya, agar tidak semakin meluas. Tapi pertanyaan yang benar-benar penting adalah, Kini apa yang harus dilakukan? Apakah kita - dalam arti IMF, Departemen Bendahara AS, dan negeri-negeri yang sedang kesulitan - tetap berpegang pada Rencana A, strategi yang telah kita jalankan sejauh ini? Ataukah saatnya mencoba Rencana B? Dan lagipula apakah Rencana B itu?

Jawaban singkatnya adalah sudah saatnya mempertimbangkan Rencana B dengan serius. Dan Rencana B sudah cukup jelas - hanya saja tidak seorang pun, termasuk pengritik terbesar Rencana A, hendak membicarakannya secara terbuka. Tapi sebelum kita menuju ke sana, marilah kita mengingat kembali bagaimana kita bisa sampai di sini.

ASIA: APANYA YANG SALAH

Kini, garis besar tentang bagaimana Asia jatuh berantakan sudah cukup banyak diketahui. Setidaknya sebagian, kejatuhan wilayah tersebut adalah hukuman terhadap dosa-dosanya. Kita kini mengetahui hal yang seharusnya telah kita sadari saat masa-masa peningkatan pesat: bahwa ada sisi gelap dari "nilai-nilai Asia", bahwa kesuksesan para pebisnis Asia lebih bergantung bukan pada pengetahuan mereka melainkan kenalan mereka. Kapitalisme kroni secara khusus berarti bahwa investasi yang meragukan (blok kantor yang tak dibutuhkan di luar Bangkok, diversifikasi yang dikendalikan oleh ego para chaebol Korea Selatan) disambut gembira dengan kucuran dana bank lokal, selama peminjamnya memiliki koneksi yang pas ke pemerintah. Cepat atau lambat ini akan mendapat ganjarannya. Bahkan sebelum krisis, ketika bank-bank asing masih memberikan pinjaman dan utang Indonesia diberikan peringkat Baa, tabir yang indah mulai robek: perusahaan Raksasa Korea bermasalah; perusahaan finansial Thailand mulai gulung tikar.
(post:Paul Krugman/nefos.org)

Tapi ekses finansial yang digenjot oleh pengaruh politik dan kekacauan sehabis pesta ini bukan hanya terdapat di Asia - ingat peristiwa simpan-pinjam di Texas? (Texas thrifts) Aspek unik dari ganjaran Asia bukanlah kejahatannya yang serius melainkan hukumannya yang begitu kejam. Yang membuat situasi finansial dari buruk menjadi bencana adalah proses berubahnya kehilangan kepercayaan menjadi kepanikan yang dibesar-besarkan sendiri (self-reinforcing panic). Pada 1996 arus modal yang memasuki negeri Asia yang sedang berkembang berada pada tingkat $100 milyar per tahun; pada paruh kedua tahun 1997 modal tersebut mengalir keluar dengan tingkat yang sama. Tak terhindarkan lagi, dengan pembalikan seperti itu aset pasar di Asia jatuh bebas, ekonominya memasuki resesi, dan kemudian keadaan akan semakin memburuk. Kesimpulannya - yah, marilah kita mengutip laporan Bank for International Settlements pada bulan Juni, sebuah organisasi yang bermarkas di Basel, Swiss, dan yang biasanya tidak berbasa-basi: "Dampak penurunan ekonomi, kejatuhan harga aset, dan krisis perbankan cenderung memperburuk satu sama lainnya karena pemotongan kredit bank mengakibatkan depresi terhadap harga aset dan lebih jauh lagi memperdalam resesi. Ini kemudian menciptakan problem-problem tambahan bagi bank yang dipaksa untuk semakin mengetatkan diri. 'Lingkaran setan' adalah istilah yang sudah terlalu banyak digunakan, tapi itu begitu tepat menggambarkan krisis Asia."

JADI APA YANG MESTI DILAKUKAN?

Pada awal krisis Asia, Stanley Fischer -- seorang ekonom yang murni ahli ekonomi dan juga pejabat tertinggi nomor dua di IMF, memperingatkan dalam sebuah audiensi di Hong Kong tentang "kemungkinan bahwa serangan [spekulatif] akan menjadi ramalan yang diwujudkan sendiri (self-fulfilling prophecies). Ia menguatirkan, contohnya, bahwa serangan yang memaksa devaluasi dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi justru akan melemahkan sistem perbankan. Dengan kata lain, Anda tak dapat menuduh IMF berlaku naif: Para pejabat di sana memahami sejak dari awal bahwa lingkaran setan yang digambarkan oleh BIS dengan sangat baik adalah suatu kemungkinan, dan mereka berupaya sebisa mungkin untuk mencegahnya.

Bekerjasama erat dengan Departemen Bendahara AS (yang orang nomor duanya, tentunya, adalah Lawrence Summers, lagi-lagi seorang ekonom kelas berat), IMF mengambil strategi yang dapat dijelaskan seperti ini:

1. Pinjamkan uang kepada negeri-negeri yang dalam kesulitan untuk membantu mengangkat mereka dari krisis
2. Sebagai syarat pinjaman, tuntutlah agar mereka mereformasi ekonominya, menghapuskan ekses terburuk dari kapitalisme kroni.
3. Desak mereka mempertahankan suku bunga tinggi untuk menarik kapital agar menetap di dalam negeri.
4. Menanti kembalinya kepercayaan dan berubahnya lingkaran setan menjadi lingkaran kebaikan.

Bahkan secara restropeksi, ini sama sekali bukan strategi yang bodoh. Bayangkan sejenak bila AS tidak memiliki asuransi simpanan, dan ketidak-percayaan terhadap pengelolaan sebuah bank yang besar menyebabkan penarikan pinjaman besar-besaran oleh para nasabah bank. Apa yang akan dilakukan oleh Cadangan Federal? Tentu, ia mungkin akan meminjamkan sejumlah kas kepada bank itu untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya; sebagai syarat pinjamannya, presiden bank tersebut dituntut untuk memecat keponakannya; dan menyuruh bank itu untuk mempertahankan nasabahnya dengan menawarkan tingkat suku bunga yang tinggi kepada mereka. Maka semua orang akan berdoa dan berharap untuk yang terbaik.

Lebih-lebih lagi, strategi ini berhasil saat diterapkan sebelumnya. Pada 1995, Meksiko mengalami sebuah krisis yang, dalam bulan-bulan awalnya, tampak lebih buruk dari kehancuran Asia. Robert Rubin dan kawan-kawan datang menolong Meksiko dengan saluran kredit yang besar; Meksiko bergerak untuk menyelamatkan bank mereka yang goncang; tingkat suku bunga di Meksiko dibumbungkan jauh ke langit; dan semuanya menahan napas. Itu adalah tahun yang buruk bagi ekonomi Meksiko, tapi akhirnya semua berjalan baik: Uang mulai mengalir kembali, tingkat suku bunga jatuh, dan setelah jatuh 6,2% dalam tahun pertama, Meksiko menunjukan pemulihan yang secara mengesankan berlangsung cepat.

Dengan kata lain, wajar bila mengupayakan Rencana A. Anda bahkan bisa berkata bahwa itu tak bisa dihindarkan: dengan logika situasi politik, bukan sekedar ekonomi, dan dengan kesuksesan strategi serupa di Meksiko hanya dua tahun sebelumnya, bagaimana mungkin IMF dan Departemen Bendahara tidak mencoba mengulang kembali kemenangan mereka sebelumnya?

PARA PENGRITIK

Walaupun respon IMF terhadap krisis Asia sudah dapat diprediksi, itu bukan berarti bahwa mereka tidak menemui penentangan. Sejak awal sudah ada beragam ketidaksetujuan, yang menjadikan citra diri IMF di hadapan publik babak-belur. Dan beberapa pengritik bisa jadi memang ada benarnya - tapi hanya sebagian dari mereka saja, karena terdapat lebih banyak perbedaan pendapat di antara para pengritik, dibandingkan dengan IMF. Kasarnya, setengah dari mereka berasal dari kubu uang-keras (hard-money): orang yang meyakini bahwa IMF menyebabkan krisis dengan mendesak negeri-negeri untuk mendevaluasi di saat mereka seharusnya mempertahankan nilai tukar mata uang yang ditetapkan. Sebagian lainnya dari kubu uang-lunak (soft-money), yang meyakini bahwa IMF menaruh terlalu banyak penekanan pada stabilitas mata uang. Tidak bisa kedua-duanya benar.

Sebenarnya, beberapa dari mereka bisa dipastikan salah. Serangan para uang-keras terhadap Rencana A - serangan yang utamanya dilancarkan melalui lembaran majalah Forbes dan Wall Street Journal, dan oleh kaum konservatif penganut sisi-persediaan (supply-side conservatives) - setara dengan mengatakan bahwa negeri-negeri Asia harus mempertahankan nilai tukar mata uangnya dengan pengorbanan apa pun. Namun, melakukan hal ini di hadapan pelarian kapital besar-besaran, akan berarti secara drastis menurunkan kuantitas uang dalam sirkulasi - menciptakan tingkat suku bunga yang tingginya ekstrim, jauh lebih tinggi dari yang perlu diterapkan oleh negeri-negeri itu. Dan bank sentral yang tak dapat mencetak uang karena harus mempertahankan nilai-mata-uang-tetap tidak dapat bertindak sebagai pemberi pinjaman terakhir, yang menyediakan kas bagi bank-bank lokal yang terancam oleh penarikan besar-besaran. (Argentina, yang 'dewan mata uang'-nya dan kebijakan satu-peso/satu-dolar nya dipuji oleh kaum konservatif, hanya dapat menyaksikan tanpa daya ketika sektor perbankannya mulai berprotolan pada 1995; untungnya Bank Dunia datang menolong.)

Kalau Anda menanyakan pengritik dari kubu uang-keras kenapa mereka meyakini rencana mereka akan berhasil, kenapa itu tidak justru menyebabkan bencana yang lebih buruk, satu-satunya jawaban yang Anda dapatkan adalah jika saja Thailand tidak mendevaluasi, atau jika Indonesia mendirikan 'dewan mata-uang', tingkat kepercayaan akan kembali dan semuanya akan berjalan baik. Ya, mungkin - tapi itu benar-benar argumen yang berputar-putar. Lagipula, rencana ekonomi apa pun bagi Asia akan berhasil bila dalam sekejap berhasil mengembalikan kepercayaan. Kenapa tidak melangkahi saja pembentukan dewan mata uang dan menyuruh orang untuk lebih sering senyum?

Dan bagi mereka yang meyakini bahwa krisis ini tidak akan terjadi bila kita menerapkan emas sebagai standar, ingatlah bahwa terakhir kalinya sebagian besar mata uang utama dipatok ke emas adalah pada tahun 1929...

Pengritik IMF dari kubu uang-lunak, seperti Jeffrey Sachs dari Harvard - yang meyakini bahwa penekanan terhadap stabilitas mata uang seharusnya dikurangi - memiliki alasan yang lebih baik. Mereka berargumen - dengan tepat - bahwa tingkat suku bunga tinggi yang dituntut IMF terhadap negeri-negeri itu akan menyebabkan resesi yang parah dan tekanan finansial, dan sebagai akibatnya bahkan bank dan perusahaan yang sehat pun akan pada akhirnya runtuh. Jadi daripada mendesak agar negeri-negeri itu meningkatkan tingkat suku bunga untuk mempertahankan mata uang mereka, mereka meyakini bahwa IMF seharusnya menyarankan negeri-negeri itu untuk menjaga suku bunga yang rendah dan mencoba untuk menjaga pertumbuhan ekonomi riil mereka.

Saran itu kedengarannya cukup baik, jadi penting untuk memahami kenapa orang-orang pintar seperti Fischer dan Summers tidak menurutinya. Pertama-tama, cara penyampaian saran tersebut - yang dibungkus tuduhan-tuduhan yang kejam bahwa IMF penuh kerahasiaan dan tidak kompeten - tidaklah membantu. Lebih penting lagi, walau begitu, para pengritik dari kubu uang-lunak belum pernah menjelaskan apa yang seharusnya terjadi pada nilai tukar mata uang. Pada akhir 1997, won Korea kehilangan separuh nilainya dalam waktu beberapa minggu. Tidakkah itu akan jatuh lebih jauh lagi, bahkan mungkin jatuh bebas, bila Korea tidak menaikkan tingkat suku bunganya? Tidakkah itu beresiko memutar hiperinflasi - termasuk dengan segera membangkrutkan bank dan perusahaan yang memiliki utang dolar yang besar?

Pertanyaan-pertanyaan ini belum mendapat jawaban yang jelas. Jeff Sachs dalam beberapa kesempatan seolah menyarankan bahwa penurunan tingkat suku bunga akan memperkuat, bukannya melemahkan, mata uang Asia - bahwa walaupun investor akan menerima imbalan lebih kecil dari memegang won atau baht, prospek perbaikan keadaan ekonomi riil akan - Anda bisa tebak - mengembalikan kepercayaan. Dalam lain kesempatan ia tampak sekedar berargumen bahwa meskipun mata uang akan jatuh, mereka tidak akan jatuh begitu jauh, dan kerusakan yang ditimbulkannya kecil. Ya, mungkin - tapi setidaknya dalam musim gugur yang Rencana A memberikan taruhan yang lebih baik daripada itu.

Maka berjalanlah dengan Rencana A. Tapi keadaan tidaklah membaik.

KENAPA RENCANA A TIDAK BERHASIL

Dalam musim gugur kemarin, tidak ada yang menyangka bahwa Tahun Satu dari krisis Asia akan lebih buruk daripada tahun 1995 di Meksiko. Tapi begitulah kenyataannya: Indonesia karam, dan hanya ada sedikit cercahan cahaya bahkan di negeri-negeri klien IMF yang paling patuh. Apa yang salah? Ini sebagian daftarnya:

Kesalahan IMF. IMF jelas melakukan kesalahan dalam melihat detail - dan beberapa detail ini cukup besar. Ia mendesak agar negeri-negeri tersebut memotong pengeluaran dan menaikkan pajak, sebuah kebijakan deflasioner yang tak diharapkan dan telah memperburuk resesi dan situasi.

Terlalu banyak didongkrak (leverage) [dengan utang]. Meksiko mampu melewati satu tahun penuh dengan tingkat suku bunga setinggi 75% dan tetap bertahan. Ekonomi Asia, rupanya, lebih rapuh karena korporasi mereka didongkrak lebih tinggi. Bila utang Anda besarnya empat atau lima kali ekuitas Anda - rasio yang tidak pernah terdengar di Barat namun menjadi praktek standar di Korea Selatan - tidak butuh waktu lama bagi resesi plus tingkat suku bunga tinggi untuk menyapu Anda.

Jepang. Ekonomi terbesar-kedua di dunia - sebuah negeri dengan pemerintah yang stabil, tanpa utang luar negeri, dan tanpa inflasi - seharusnya dapat menjadi lokomotif bagi tetangganya, sebagaimana halnya AS bagi Meksiko. Justru sebaliknya, Jepang sangat sering menjadi bagian dari permasalahan.

Bagi faktor-faktor ini, dan mungkin bagi alasan lainnya yang belum kami pahami, tahun yang lalu nyaris tak terbayangkan buruknya. Memang benar, ayunan mata uang yang menggila di tahun lalu telah surut dan kini nilai mata uang telah cukup stabil sehingga beberapa pemerintah Asia berupaya memotong sedikit tingkat suku bunganya, tapi tingkat suku bunga ini pun tetap sangat tinggi untuk memulai kembali ekonomi mereka yang terobrak-abrik. Pada saat yang sama pencekikan ganda dari tingkat suku bunga dan ekonomi yang tertekan dengan pasti menyeret perusahaan-perusahaan yang bahkan memiliki pengelolaan terbaik menuju kebangkrutan.

Jadi apa yang tersisa dari Rencana A? Ya, Korea dan Thailand berlanjut dengan pembersihan bank menurut garis penyelamatan simpan-pinjam Amerika (savings-and-loan rescue). Ini tentunya hal yang baik - tapi sama sekali belum jelas kenapa itu akan membantu mendorong pemulihan jangka-pendek. (Kecuali - coba Anda tebak lagi - itu mengembalikan kepercayaan.) Tapi, dengan begitu dalamnya tingkat depresi ekonomi negeri-negeri itu, reformasi bank seperti mengejar target yang bergerak: pinjaman yang dinilai baik (good loans) berubah menjadi buruk ketika Anda membaca tulisan ini. Selain dari itu, rencana tersebut seperti ber-degenerasi menjadi menanti Godot: mengulur waktu dengan harapan hal yang baik akan pada akhirnya terjadi.

Dan mungkin saja. Mungkin Perdana Menteri Jepang yang baru akan membuat dunia kagum dengan menjalankan rencana stimulus massif yang akan menyelamatkan bukan saja Jepang, tapi seluruh wilayah tersebut. Mungkin akan terjadi pergeseran spontan dalam sentimen investor, dan uang akan berpindah dari saham Internet menjadi surat-utang Asia. Mungkin - ya, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan dengan serius Rencana B.

APA ITU RENCANA B?

Mereka yang dari kubu uang-keras secara mengejutkan cukup membisu dalam menawarkan obat bagi Asia: Mereka terkadang mengeluarkan deklarasi bahwa ini semua tak akan terjadi bila saran mereka dijalankan, tapi mereka sepertinya tidak memberikan saran apa pun tentang apa yang kini harus dilakukan. Para ekonom yang bertipe uang-lunak lebih punya konsep: Seperti biasa, mereka menuntut negeri-negeri Asia harus memotong tingkat suku bunga agar memiliki kesempatan untuk pulih. Dan mereka barangkali benar. Problemnya adalah alasan yang pada awalnya menjadi penolakan terhadap pengurangan tingkat suku bunga kini masih berlaku. Sebagaimana Stan Fischer baru-baru ini menjelaskan, "Saya tak bisa percaya bahwa orang-orang yang serius meyakini bahwa tanpa menaikkan suku bunga untuk sementara waktu, kita dapat menanggulangi problem" kejatuhan mata uang. Pada akhir Juni, Bob Rubin melakukan tur ke Asia mendesak negeri-negeri untuk mempertahankan kebijakan uang-ketat mereka, mungkin kuatir bila mereka tidak melakukan itu, mata uang wilayah tersebut akan jatuh bebas.

Pendeknya, Asia sedang terjepit: Ekonominya tidak bisa kemana-mana, tapi mencoba untuk melakukan sesuatu yang besar untuk menggerakannya beresiko memprovokasi gelombang baru pelarian kapital dan krisis yang lebih buruk. Akibatnya, kebijakan ekonomi wilayah tersebut menjadi sandera ulah nakal para investor. Adakah jalan keluarnya? Ya, ada, tapi solusi ini sangat tidak biasa, sangat terstigmatisasi, sehingga hampir tak ada orang berani menyarankannya. Kata-kata yang tak bisa disebutkan ini adalah "kontrol pertukaran." (exchange controls)

Kontrol pertukaran biasa menjadi respon standar negeri-negeri yang mengalami krisis neraca-pembayaran (balance-of-payment). Detailnya beragam, tapi biasanya mereka berjalan seperti ini: Para eksportir diharuskan menjual pendapatan mata uang asing mereka kepada pemerintah dalam nilai tukar tetap (fixed exchange rate); mata uang tersebut kemudian akan dijual dengan nilai yang sama untuk pembayaran ke luar negeri yang telah disetujui, umumnya untuk impor dan membayar utang. Bila beberapa negeri mencoba menjadikan transaksi pertukaran-uang ilegal, negeri-negeri lainnya membolehkan pasar paralel. Yang mana pun caranya, ketika sistem tersebut diterapkan, sebuah negeri tidak harus menguatirkan bahwa pemotongan tingkat suku bunga akan menyebabkan kejatuhan mata uang. Mungkin itu akan menyebabkan turunnya nilai tukar yang terjadi paralel, tapi tidak akan mempengaruhi harga-harga impor atau neraca perusahaan dan bank.

Bila ini kedengarannya terlalu gampang buat Anda, Anda benar. Kontrol pertukaran memiliki banyak permasalahan dalam prakteknya. Di samping beban berkas-berkas dan birokrasi yang terlibat, ia juga menjadi - kejutan! - sasaran penyelewengan: Para eksportir mendapat insentif untuk menyembunyikan bukti-bukti pertukaran mata uang asing mereka; para importir, insentif untuk memalsukan bukti pembayaran mereka. Tiap negeri yang telah mencoba mempertahankan kontrol pertukaran selama periode yang lama pada akhirnya mendapati bahwa akumulasi distorsinya tidak dapat ditolerir, dan terdapat konsensus virtual di antara para ekonom bahwa kontrol pertukaran tidak dapat berjalan baik.

Tapi ketika Anda menghadapi bencana yang kini terjadi di Asia, pertanyaannya haruslah: tidak berjalan baik dibandingkan apa? Setelah Meksiko menerapkan kontrol pertukaran selama krisis utang tahun 1982, itu berjalan sepanjang lima tahun dengan ekonomi stagnan - suatu hasil yang buruk, tapi bila PDB Anda menyusut hingga 5%, 10%, atau 20%, stagnan terlihat seperti perbaikan yang besar. Dan renungkanlah Tiongkok saat ini; suatu negeri di mana kapitalisme kroni-nya membuat Thailand terlihat seperti Swiss , dan para bankirnya membuat anaknya Suharto terlihat seperti J.P. Morgan. Kenapa Tiongkok tidak sedikit pun terpukul separah tetangganya? Karena ia mampu memotong, bukannya menaikkan, tingkat suku bunga dalam krisis ini, selain mempertahankan nilai tukar tetap; dan alasan dari kenapa ia mampu melakukan itu adalah karena ia memiliki mata uang yang tak dapat dikonversikan, a.k.a. kontrol pertukaran. Kontrol ini seringkali dilangkahi dan menjadi sumber korupsi yang besar, tapi itu masih dapat memberikan Tiongkok keleluasaan kebijakan yang cukup besar yang dengan mati-matian diidam-idamkan oleh negeri Asia lainnya.

Pendeknya, Rencana B perlu melepaskan untuk sementara waktu urusan dan upaya mengembalikan kepercayaan investor internasional dan memaksa pemutusan hubungan antara tingkat suku bunga domestik dan nilai tukar mata uang. Kebebasan kebijakan yang dibutuhkan Asia untuk membangun kembali ekonominya akan jelas-jelas memiliki harganya sendiri, tapi dengan semakin dalamnya kejatuhan, harga tersebut mulai terlihat semakin pantas untuk dibayar.

Anda tak perlu menyetujui bahwa saat ini adalah waktunya mengadopsi Rencana B - atau bahkan bahwa itu akan diterapkan - untuk mengakui bahwa hal seperti itu adalah alternatif yang jelas dibandingkan strategi menunggu-dan-berharap yang berjalan saat ini. Tapi tetap saja sangat susah menemukan seorang pun, bahkan di antara para pengritik IMF, untuk membicarakannya. Bagaimana bisa?

NON-KONSPIRASI BISU

Bukan kejutan bila IMF dan Departemen Bendahara AS belum mengatakan apa pun mengenai alternatif strategi Asia saat ini. Para pemain kuncinya bukannya bodoh atau doktriner, tapi karena ini persoalan politik, maka mereka tentunya harus selalu menyatakan keyakinannya terhadap obat keras apa pun yang mereka anjurkan. Lebih lagi, bahkan sedikit saja menyinggung kemungkinan tentang kontrol pertukaran dapat dengan sendirinya menyebabkan pelarian kapital dan memaksa negeri-negeri Asia untuk menaikkan tingkat suku bunga, bukannya menurunkannya. Dengan kata lain, Rencana B seperti sebuah devaluasi: Pejabat selalu dengan tegas menyangkal bahwa mereka mempertimbangkan kemungkinan semacam itu hingga pada saat mereka melakukannya.

Kebijakan yang persiapannya tidak bisa diketahui publik ini (gag rule) bukan saja berlaku bagi para pejabat tapi juga siapa pun yang diasosiasikan dengan strategi itu: para bankir, institusi investasi besar, dan seterusnya. Ada juga semacam tekanan moral secara pribadi di antara mereka yang tak berperan dalam kebijakan itu tapi walau demikian secara umum simpati dengan pembuat kebijakan dan dilemanya. Contohnya, renungkanlah situasi yang dihadapi oleh seorang profesor ekonomi yang sesekali merangkap jurnalis dan telah mengenal Fischer dan Summer sepanjang masa profesionalnya. Ia mengharapkan hal-hal yang baik bagi mereka, dan memahami kenapa mereka pada awalnya mencoba Rencana A. Sebagaimana Anda bayangkan, ia akan sangat sungkan untuk tampil di depan umum untuk menyatakan keraguannya - katakanlah, dengan menyarankan dalam sebuah majalah bisnis bahwa sudah saatnya untuk Rencana B - kecuali ia cukup benar-benar yakin bahwa Rencana A telah menemui jalan buntu.

Yang mengejutkan adalah baik para pengritik IMF di Barat maupun di Asia sendiri telah bicara banyak tentang bagaimana memotong tingkat suku bunga tanpa menyebabkan mata uang jatuh bebas. Lagi-lagi, beberapa dari mereka sangatlah pintar, dan kebutuhan untuk sementara wkatu beralih ke kontrol pertukaran pastinya pernah terlintas di benak mereka. Kenapa tidak katakan saja? Dicurigai bahwa pertimbangan jiwa dagang mungkin memainkan peran. Memotong tingkat suku bunga terdengar sangat menarik; menerapkan kontrol pertukaran, dengan reputasinya yang sudah sepantasnya tidak mengundang selera, tidaklah demikian; jadi mungkin yang perlu dilakukan adalah menekankan sisi positifnya dan nanti saja menguatirkan akibatnya yang tak mengenakkan.

Dan bagi Asia sendiri, karena nasib baik mereka tiba-tiba dijungkir-balikkan, maka mungkin ini semua terlalu banyak untuk dikunyah sekaligus. Tak sampai setahun lalu mereka adalah ekonomi masa depan; untuk mengakui bahwa mereka harus membalikkan waktu dan menerapkan sejenis tindakan darurat yang diadopsi oleh Amerika Latin pada tahun 1980an mungkin begitu memalukan sehingga belum bisa mereka terima.

Dapatkah Anda benar-benar menyalahkan mereka? Bila bangsa-bangsa Asia benar-benar mengadopsi pertukaran mata uang, maka mereka harus bersiap-siap melakukan perjalanan yang lebih penuh tantangan. Hilanglah kesempatan menarik investasi asing yang baru. Pasar finansial barangkali akan ambruk lagi. Tapi kerusakannya, meskipun menyakitkan, hanya akan sementara. Seiring menurunnya suku bunga, ekonomi lokal pada akhirnya akan pulih, kepercayaan akan kembali lagi (yang sebenarnya!), dan kontrol pertukaran yang mengganggu itu pun bisa dihilangkan - diharapkan untuk selamanya.

Tapi bila Asia tidak bertindak segera, kita dapat menyaksikan skenario Depresi yang sesungguhnya - semacam kejatuhan yang 60 tahun lalu memporak-porandakan masyarakat, mendestabilisasikan pemerintah, dan akhirnya berujung pada perang. Situasi ekstrim menuntut tindakan ekstrim; saatnya membicarakan Rencana B.

Read More......

|welcome to trik kita blog !! thanks for reading |

Read More......