Liberalisme menjadi teori yang paling dominan dalam hubungan internasional semenjak berakhirnya perang dingin pada 1991. Kekalahan komunisme seakan menjadi justifikasi kemenangan paham liberal yang sarat dengan kebebasan individu.

Sejauh ini mahasiswa hubungan internasional gemar sekali mengindentikkan teori liberal dengan idealisme, optimisme, dan kebebasan tapi gagal memahami asumsi dasar teori liberal menyangkut banyak hal meliputi pasar bebas, institutusi internasional, organisasi internasional dan lainnya dalam penjelasan yang singkat dan tanpa berbelit-belit. Mungkin saya salah satu diantaranya. Sebelum semakin bertambah pusing, sebaiknya tulisan ini dimulai dari pengertian liberal secara sederhana oleh beberapa liberalis. Secara singkat Tim Dunne (2001) mendefiniskan liberalisme sebagai suatu ideologi yang perhatiannya terpusat pada kebebsan individual. Image paling kuat melekat dalam liberalisme adalah kedudukan negara adalah sebagai suatu manifestasi kebutuhan untuk melindungi kebebasan tersebut. Negara menjadi pelayan dari keinginan kolektif sekelompok orang yang menyerahkan kekuasaannya pada otoritas tertentu di luar mereka.
Fokus pemikiran liberal memberikan berbagai penjelasan bagaimana kedamaian dan korporasi antara aktor hubungan internasional dapat dicapai. Dalam liberal tersendiri terdapat empat cabang dalam menguraikan bagaimana kedamaian bisa dicapai (Dunne, 2001). Perspektif kedamaian dalam sudut pandang liberal dibagi menjadi empat yakni liberal internasionalisme, idealisme, optimisme, dan liberal institutionalisme

Liberal internasionalisme

Dua pemikir yang muncul dari liberal internasionalisme adalah Immanuel Kant dan Jeremy Bentham. Pemikiran liberal mereka tentu saja tidak jauh dari kacamata mereka memandang situasi politik pada masa hidupnya yakni pada era Enlightenment.Kant melihat dunia internasional seolah carut marut karena tidak adanya suatu hukum dan norma yang legitimate mengatur perilaku aktor-aktor politiknya. Menurut Kant, perdamaian bisa dicapai apabila terdapat hukum internasional dan kontrak federal antarnegara untuk meninggalkan perang.

Bentham menambahkan pemikiran liberal Kant dengan menyebut contoh nyata yang terjadi pada Germany Diet, American Confederation, dan Liga Swiss yang terbukti mampu memfasilitasi konflik yang terjadi akibat persaingan individu melalui pemerintahan bersama (federasi). Inti dari pemikiran liberal internasionalisme adalah siginifikasi hukum international. Menurut Bentham, hukum international tersebut dapat terbentuk tanpa melalui pemerintahan dunia. Menurut liberal internasionalisme masyarakat internasional berdasar hukum bisa terjadi secara natural sebagaimana Adam Smith menjelaskan mekanisme pasar dengan invisible hands. Ketika suatu negara mengikuti self interest masing-masing, individu secara tidak sadar mendorong terwujudnya kebaikan bersama.

Idealisme

Era idealisme dimulai sejak awal 1900 hingga akhir 1930 yang dimotivasi oleh keinginan kuat untuk menghindari perang. Salah satu pencetus idelalisme terkenal adalah Woodrow wilson yang tertuang dalam empat belas point Wilson. Kelahiran idealisme ditandai oleh pasca perang dunia I sebagai kritikan terhadap paham liberal internasionalisme yang menyatakan bahwa perdamaian bersifat natural dan bisa terjadi dengan sendirinya. Menurut Wilson, perdamaian tidak terjadi secara natural tapi mesti dikontruksi. Lebih lanjut Wilson mengatakan bahwa perdamaian itu bisa dikontruksi dengan membentuk institusi. Konsep utama dalam pemikiran idealisme adalah keamanan bersama, collective security. Dikarenakan jika keamanan suatu negara terganggu akan berimbas pada stabilitias keamanan di negara kawasan disebabkan interconnectedness, oleh karena itu keamanan menjadi konsep bersama keamanan suatu negara juga menjadi tanggung jawab negara lain.

Liberal Institusionalisme

Pandangan liberal institusionalisme muncul sebagai jawaban atas kritik realisme merespon peristiwa terjadinya perang dunia dua dan gagalnya Liga Bangsa-bangsa. Ini menjadikan sifat liberal institusionalisme menjadi cenderung realist dan mengurangi normativeness (Dunne, 2001).
Liberal institusionalime menolak pandangan aktor bersifat state-centric. Meskipun negara merupakan satu-satunya aktor tunggal hubungan internasional, mereka menilai organisasi internasiona, perusahaan multinasional merupakan aktor subordinate dalam sistem. Kehadiran aktor subordinate menjalankan beberapa peran yang tidak dapat dilakukan oleh negara.
Fenomena globalisasi tidak membuat paham liberal menjadi outdated, sebaliknya liberal terus melakukan penyesuaian dengan konsep kini supaya terus relevan memberikan penjelasan terhadap kejadian dalam konteks global.

Neo-liberal internasionalisme

Neo-liberal internasionalisme cenderung menggunakan istilah globalisasi dalam berbagai pengertian positif. Globalisasi memicu tumbuh kembangnya ekonomi secara lebih baik dan sepertil tradisis liberal internasionalime lama, pertumbuhan ekonomi yang maksimal melalui perdangan (commerce) dan free trade merupakan ladang subur bagi benih-benih perdamaian diamana akan terjaling mutual understanding. Mutual understanding inilah yan goleh neo-liberal internasionalisme menjadi faktor kunci mencegah perang.

Neo-idealisme

Neo-idealisme muncul dengan ide bahwa ketergantungan sangat bermanfaat untuk mendatangkan perdamaian dan menyebarkan semangat demokrasi. Globalisasi menjadi perangkat efektif untuk menyebarkan ide demokrasi. Demokrasi yang mengandung nilai-nilai kebebasan dan perdamaian menjadi indikator paling valuabel untuk menciptakan kerjasama melalui terbentuknya masyarakat global-global society.

Neo-liberal institusionalisme

Prinsip kunci liberal institusionalisme adalah mengakui keberadaan aktor non-negara dalam sistem (Keohane, 1989a). Neo-liberal institutionalisme mengakui sistem cenderung anarki daripada kooperatif, sesuai dengan pandangan realis, meskipun demikian namun kerjasama antaraktornya tetap terjalin. Mengapa demikian? Sebab aktor negara bersifat rasional yakni selalu terdapat kecenderungan mereka menghindari perang dan seminimal mungkin melakukan kerjasama menggunakan asas mutual gain atau absolute gain ¸bukannya relative gain. Relative gain mengindikasikan bahwa kerjasama bersifat zero sum game, state akan bekerjasasama jika ia mendapat keuntungan lebih dari yang lainnya “who can get more”. Sementara itu, Absolute gain kerjasama tetap terjadi dalam kondisi positive sum game, manakala menguntungkan kedua pihak.

Read More......

Dalam perkembangan kebudayaan manusia, komunikasi massa menjadi proses dan bidang ilmu komunikasi yang memiliki pengaruh cukup penting bagi kehidupan manusia. Komunikasi massa memainkan peranan utama dalam perubahan dan dinamika sosial masyarakat. Media penyampaiannyapun beragam, mulai dari yang sederhana secara verbal sampai pada pada penggunaan teknologi seperti internet dan satelit.

Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu
Efek Kognitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informative bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung.

Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa “peledakan bom bunih diri dilakukan oleh jaringan teroris” ,Penonton televisi, yang asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang peristiwa tersebut. Di sini pesan yang disampaikan oleh komunikator ditujukan kepada pikiran komunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja.

media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, kejadian atau tempat yang belum pernah kita lihat dan belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi. Kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih mengerikan.

Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan mempengaruhi pembentukan citra dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Sebagai contoh, dalam film India, wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang kemewahan dan seringkali cerewet. Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus, akan menciptakan stereotipe pada diri khalayak Komunikasi Massa tentang orang, objek atau lembaga. Di sini sudah mulai terasa bahayanya media massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.

Sementara itu, citra terhadap seseorang, misalnya, akan terbentuk (pula) oleh peran agenda setting (penentuan/pengaturan agenda). Teori ini dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Biasanya, surat kabar mengatur berita mana yang lebih diprioritaskan. Ini adalah rencana mereka yang dipengaruhi suasana yang sedang hangat berlangsung. Sebagai contoh, bila satu setengah halaman di Media Indonesia memberitakan pelaksanaan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, berarti wartawan dan pihak redaksi harian itu sedang mengatur kita untuk mencitrakan sebuah informasi penting. Sebaliknya bila di halaman selanjutnya di harian yang sama, terdapat berita kunjungan Megawati Soekarno Putri ke beberapa daerah, diletakkan di pojok kiri paling bawah, dan itu pun beritanya hanya terdiri dari tiga paragraf. Berarti, ini adalah agenda setting dari media tersebut bahwa berita ini seakan tidak penting. Mau tidak mau, pencitraan dan sumber informasi kita dipengaruhi agenda setting.

Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia memberikan manfaat yang dikehendaki masyarakat. Inilah efek prososial. Bila televisi menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah menyajikan penderitaan rakyat miskin di pedesaan, dan hati kita tergerak untuk menolong mereka, media massa telah menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam, menghimbau kita untuk menyumbang, lalu kita mengirimkan wesel pos (atau, sekarang dengan cara transfer via rekening bank) ke surat kabar, maka terjadilah efek prososial behavioral.

Efek Afektif

Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya.

Read More......

“..Apa yang pertama-tama mengganggu hati nurani kita

bukanlah obyek dari pengalaman inderawi,

melainkan bayangan-bayangan kita..”

Adam Smith



Baru-baru ini, Jakarta mengalami bencana banjir. Banyak korban, baik materil maupun moril. Bantuan pun berdatangan dari berbagai pihak. Hati kita pedih melihat tayangan televisi yang menggambarkan bagaiamana air menelan harta benda korban. Bahkan, di beberapa tempat, bencana banjir juga meminta korban nyawa. Melihat semua fenomena ini, hati kecil saya bertanya, ketika kita mengetahui bahwa banyak korban akibat bencana tersebut, elemen manakah di dalam diri yang mendorong kita untuk segera memberikan pertolongan? Kita selalu bertanya-tanya di dalam hati kita, mengapa kita merasa iba terhadap orang lain? Mengapa kita terdorong untuk bertindak baik kepada orang lain bahkan sebelum ada alasan-alasan yang rasional yang bisa dipertanggungjawabkan dari tindakan itu? Sejarah pemikiran filsafat moral terbelah dua, ketika para filsuf berupaya memberikan jawaban atas pertanyan itu.
Di satu sisi, ada filsuf yang berpendapat bahwa alasan terdalam yang mendorong manusia untuk bertindak baik dan merasa iba pada orang lain dapatlah ditemukan di dalam rasio manusia itu sendiri. Kant adalah tokoh yang paling eksplisit mengungkapkan hal ini. Ia berpendapat bahwa tindakan baik selalu didorong oleh adanya imperatif kategoris yang berdiri tegak di dalam rasio manusia, dan mewajibkannya untuk melakukan kebaikan. Dengan kata lain, kebaikan adalah kewajiban yang melekat di alam rasio manusia. Tindakan baik tidaklah didorong oleh perasaan ataupun emosi, karena jika begitu, maka dasar dari tindakan tersebut tidak dapat dipastikan ataupun diukur secara rasional. Akibatnya, tindakan baik jadi relatif, bagus jika dilakukan, jika tidak yah tidak apa-apa. Etika Kant jelas menolak dasar yang terakhir ini, dan merumuskan suatu imperatif bahwa tindakan baik adalah kewajiban manusia yang paling agung, serta mengatasi semua bentuk emosi.



Sementara, di sisi lain, ada filsuf yang berpendapat sebaliknya dengan menyatakan bahwa yang mendorong manusia berbuat baik pertama-tama bukanlah kewajiban rasional, melainkan perasaan moralnya. Manusia memiliki semacam prinsip-prinsip hakiki di dalam dirinya yang membuatnya peka terhadap kebahagiaan maupun penderitaan orang lain. Dengan demikian, yang menjadi otoritas penentu bukanlah pertimbangan-pertimbangan rasional, melainkan pertama-tama adalah perasaan moral kita. Tesis ini sangat menarik untuk menganalisis mengapa orang dapat merasa iba, dan kemudian terdorong untuk melakukan tindakan baik. Di tataran yang lebih luas lagi, tesis ini juga tampaknya memberikan semacam sinyalemen kepada kita, bahwa peradaban manusia lebih didorong oleh perasaan semacam ini daripada oleh rasionalitas. Schopenhauer sangat terkenal dengan tesisnya tentang hal ini. Ia berpendapat bahwa rasio adalah budak dari kehendak. Kehendak adalah elemen utama yang mendorong bergeraknya seluruh realitas. Pada titik ini, kita tentunya bisa menarik semacam kesimpulan hipotetis, bahwa perubahan itu tidak datang dari kesadaran rasio manusia untuk melakukan perubahan menuju ke arah yang lebih baik, melainkan dari pengaturan perasaan-perasaan kolektif masyarakat itu sendiri. Perasaan kolektif itu tentunya harus dirumuskan terlebih dahulu. Maka, kita perlu memahami logika dari perasaan sebelum membuat perubahan berdasarkan mood kolektif ini.



Adam Smith adalah filsuf yang merumuskan “logika dari perasaan” dengan sangat baik. Bukanlah buku Wealth of Nations yang membuat Adam Smith menjadi mula-mula seorang teoritikus yang disegani, melainkan sebuah buku tentang kodrat alamiah manusia yang memiliki perasaan moral, dan implikasi etisnya yang berjudul The Theory of Moral Sentiments. Buku itu terjual habis seminggu setelah penerbitannya. Di dalam buku itu, ia mengajukan pertanyaan yang sangat penting, mengapa kita menghargai suatu tindakan tertentu sebagai baik, dan menilai suatu tindakan lainnya sebagai buruk? Pada masa di mana ia hidup, setidaknya, jawaban atas hal ini terbagi menjadi dua. Pertama, beberapa orang berpikir bahwa kriteria yang baik dan yang buruk adalah kesesuaian dengan hukum, dan hukum ditentukan oleh penguasa. Maka, kriteria yang baik dan yang buruk adalah milik penguasa. Yang kedua, bahwa prinsip-prinsip moral dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan universal.



Buku tulisan Adam Smith tidak mengikuti dua pendapat umum tersebut, melainkan bergerak ke arah yang sama sekali berlainan. Ia berpendapat bahwa setiap orang sudah selalu lahir dengan memiliki perasaan moral, sama seperti mereka selalu sudah mempunyai ide tentang keindahan di dalam dirinya. Hati nurani kitalah yang membuat kita mampu berkata, ini baik, dan ini tidak baik. Hati nurani ini adalah sesuatu yang sudah tertanam di dalam diri kita, dan bukan sesuatu yang dirumuskan oleh para legislator hukum, ataupun para filsuf yang merumuskan kebaikan secara rasional. Dan untuk memperkuat hati nurani ini, kita memiliki semacam perasaan alamiah tentang orang lain (natural fellow-feeling), yakni apa yang disebut Smith sebagai simpati. Simpati dan hati nurani inilah yang memastikan bahwa setiap manusia dapat hidup bersama secara teratur tanpa saling menghancurkan.



Dengan demikian, moralitas adalah sesuatu yang sudah ada di dalam kodrat alamiah, dan bukan konstruksi akal budi kita. Mungkin, refleksi Smith tentang “tangan yang tak kelihatan” juga merupakan mekanisme yang sama dengan refleksi moralnya. The Theory of Moral Sentiments dapat dikatakan merumuskan semacam liberalisme terselubung, di mana pengaturan masyarakat bukanlah sesuatu yang disengaja, melainkan melulu produk dari tindakan langsung manusia itu sendiri. Tulisan ini ingin membahas pemikir Smith di dalam buku tersebut, terutama tentang simpati dan moralitas yang merupakan dua konsep utamanya. Teori moral Smith juga menunjukkan adanya semacam revolusi di dalam pemikiran etika, yakni revolusi dari pertimbangan aku menuju ke pertimbangan orang lain, dan tentang pengamat yang tidak berpihak.

***



Sebelum memasuki pemikiran Smith tentang simpati, ada baiknya penulis menjelaskan dulu apa yang dimaksud dengan judul buku The Theory of Moral Sentiment. Sentiment disini berarti perasaan. Moral sentiment berarti perasaan tetang kesetujuan, ketidaksetujuan, rasa terima kasih, dan sebagainya atas tindakan saya ataupun tindakan orang lain. Sementara, theory diambil dari kata Yunani yang berarti menjadi seorang pengamat. Kata ini memiliki arti yang berlawanan dengan praksis, di mana orang tidak hanya menjadi pengamat, melainkan juga menjadi partisipan. Di dalam pemikiran Aristoteles, pemikiran teoritis ditempatkan dalam kedudukan yang berlawanan dengan pengetahuan praktis, yakni pengetahuan yang diorientasikan untuk mendorong tindakan. Etika digolongkannya sebagai pengetahuan praktis. Buku yang ditulis Smith bukanlah suatu jenis etika. Buku itu tidaklah bersifat praktis, melainkan suatu teori tentang perasaan moral. Mungkin, kita dapat menggolongkan buku ini di dalam psikologi moral. Smith tidak memaksudkan kata teori sebagai sesuatu yang dipertentangkan dengan faktualitas, seperti yang banyak dipahami sekarang ini (studi teoritis seringkali abstrak, hipotetis, dan spekulatif). Ia mau memberikan analisis terhadap berbagai perasaan dan kecenderungan psikologis yang terkait dengan moralitas, dan mengajak pembaca tulisannya untuk menguji pengalaman mereka sendiri tentang perasaan-perasaan ini. Dalam arti tertentu, buku ini juga dapat digolongkan etika, karena ia sendiri berpendapat bahwa perasaan moral adalah dasar yang memadai bagi suatu penilaian moral. Kita menilai suatu tindakan sebagai salah, ketika kita merasakan adanya ketidaksetujuan pada saat kita melihat tindakan tersebut.



Analisis tentang berbagai perasaan dan kecenderungan psikologis moral memiliki sejarah yang panjang. Nichomachean Ethics, buku tulisan Aristoteles, terutama pada Book III-VI, serta literatur-literatur Kristiani banyak menganalisis problem yang sama. Pada abad ke 17, para sejarahwan membuat daftar para filsuf yang menulis tentang passion. David Hume adalah salah satunya. Ia berpendapat bahwa di balik sikap egoisme manusia, ada suatu perasaan moral yang tidak dapat dikesesampingkan begitu saja. Adam Smith juga berpendapat sama. “Bagaimanapun manusia diandaikan bersikap egois,” demikian tulisnya, “ selalu ada beberapa prinsip di dalam kodratnya, yang membuat dia tertarik kepada keberuntungan orang lain, dan menjadikan kebahagiaan mereka juga menjadi miliknya, walaupun ia tidak mendapatkan apapun darinya kecuali kesenangan melihatnya.”[1]



Walaupun judul buku itu adalah tentang perasaan moral, tetapi konsep yang paling mendasar di sana bukanlah perasaan moral itu sendiri, melainkan simpati. Simpati adalah prinsip hakiki yang sudah inheren di dalam diri manusia. Manusia sudah secara alamiah mempunyai semacam prinsip-prinsip inheren yang membuatnya mampu memberi perhatian pada kebahagian orang lain, dan bahwa ia juga sedapat mungkin berupaya mewujudkan kebahagiaan itu. Prinsip ini berlaku universal bagi setiap manusia. Prinsip ini dapat dibuktikan dengan pengamatan yang kasat mata, jika tidak dianggap terbukti dengan sendirinya. Simpati adalah membayangkan diriku pada sebuah situasi, dan membayangkan bagaimana reaksi emosionalku pada saat itu. Simpati ini secara literer berarti “merasa bersama”. Biasanya, kata ini juga berarti perasaan sedih ketika melihat orang lain terluka. Akan tetapi, ia memperluas arti kata itu dengan memasukkan perasaan senang ketika orang lain senang, dan begitu juga dengan semua perasaan lainnya.[2] “Kesedihannya,” demikian Smith, “ketika mereka membawa ke diri kita sendiri, ketika kita mengambilnya dan membuatnya menjadi milik kita, mulai mempengaruhi kita, dan kita gemetar atas apa yang dirasakannya.”[3] Dengan demikian, simpati adalah perasaan bersama (fellow-feeling) yang muncul dengan membayangkan diriku di situasi lain, dan membayangkan apa yang kurasakan di situasi itu. Kita menyetujui suatu tindakan, jika kita dapat bersimpati pada tindakan itu. Ketika kita membayangkan diri kita di dalam situasi orang lain, kita seolah-olah memasuki perasaan orang itu, dan memahami apa yang menjadi motivasi dari tindakannya. Jika kita merasa bahwa kita tidak dapat menyetujui motivasi tindakannya, maka kita tidak dapat memberikan persetujuan.



Kita menilai tindakan kita juga dengan cara yang sama. Setiap tindakan selalu memiliki motivasi, entah disadari atau tidak. Akan tetapi, kita bisa bertanya, apakah orang lain juga dapat setuju dengan motivasi kita ini? Orang lain yang berada di dalam situasi ini dan merasa marah, berarti ia tidak setuju dengan motivasi kita. Kita juga bisa membayangkan adanya pengamat yang tak berpihak, yakni orang yang memiliki informasi memadai tentang situasi kita, tetapi tidak terikat dengan cara-cara yang khusus, baik sebagai teman ataupun sebagai lawan. Nah, apakah pengamat yang tak berpihak ini dapat setuju dengan perasaan serta motif dari tindakan saya? Jika ia setuju, maka saya dapat melakukan tindakan yang akan saya lakukan. Jika tidak, maka saya tidak bisa melakukannya. Untuk menentukan apakah pengamat yang tidak berpihak tersebut setuju atau tidak, maka saya harus membayangkan diri saya berada di dalam posisi pengamat tersebut, dan membayangkan diri saya tengah merasakan perasaan pengamat itu, serta memutuskan apakah saya dapat memahami motif-motif tindakan yang tengah saya lakukan. Dengan kata lain, kita mencoba melihat diri kita seperti orang lain melihat kita. Perasaan seorang pengamat haruslah tumbuh secara bersama dari pertimbangan akan apa yang akan ia sendiri rasakan, jika ia berada di dalam situasi yang tidak berbahagia..



Yang harus dicatat, Smith berpendapat bahwa kita menilai apakah motif seseorang itu pantas atau tidak bukan dengan membandingkan motif ini dengan kriteria rasional yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan dengan membayangkan apakah kita dapat merasakan motif yang sama, jika kita berada di dalam situasi itu (atau dengan apa yang dirasakan oleh pengamat tidak berpihak (impartial spectator), ketika berada dalam situasi yang sama). Ini adalah semacam intusionisme. Misalnya, kita berkata, “hari tampak mendung bagi saya.” Lalu, orang lain berkata, “Apakah sungguh-sungguh mendung?” Maka, satu-satunya yang dapat saya lakukan adalah mengajak orang tersebut melihat langit dari posisi saya. Tidak ada argumentasi yang bisa memaksakan orang tersebut untuk berpendapat sama dengan saya, jika saya tidak mengajaknya melihat langit dari posisi saya. Kita tidak dapat menguji atau membenarkan suatu penilaian atas tindakan kita dengan dasar-dasar rasional abstrak. Kita hanya dapat melakukannya dengan membayangkan apakah pengamat yang tidak berpihak akan setuju dengan penilaian kita, atau tidak.



Perasaan orang lain merupakan kriteria dan ukuran bagi penilaian moral kita. Tindak menyetujui suatu tindakan juga berarti kita mengadopsi persepsi mereka, dan mengadopsi berarti kita menyetujuinya. Jika argumen yang sama dapat meyakinkan baik kita maupun orang lain, maka argumen tersebut dapat dinilai sebagai memadai. Dalam kasus melihat langit yang mendung tadi, kita mungkin dapat bertanya kepada diri kita sendiri, apakah mendung menurut kita juga sesuai dengan kriteria langit mendung menurut orang lain? Smith tidak menyatakan bahwa apa yang kita anggap sebagai benar adalah benar sepenuhnya. Hanya jika telah melalui pertimbangan yang penuhlah kita dapat yakin akan sesuatu, dan bertindak berdasarkan keyakinan itu. Pertimbangan itu tentunya mengikutsertakan pertimbangan dari orang lain, maupun dari pengamat yang tidak berpihak.



Protagoras, seorang filsuf Yunani Kuno, berpendapat bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya, baik sesuatu yang buruk menjadi buruk, ataupun sesuatu yang baik, sehingga itu baik. Adam Smith memiliki argumen yang searah, namun tak sama, yakni bahwa kita menilai orang lain dengan penilaian kita, kita mencoba mendengar apa yang didengarkan orang lain dengan telinga kita. Kita mencoba menebak pikiran orang lain dengan pikiran kita. Bahkan, kita mencoba menebak rasa cinta orang lain dengan rasa cinta kita. Maklum, kita tidak mempunyai cara yang lain selain cara ini. “Setiap fakultas yang ada di dalam diri manusia”, demikian Smith, “adalah kriteria yang memungkinkan dia menilai, saya menilai apa yang anda lihat dengan apa yang saya lihat, apa yang anda dengan dengan apa yang saya dengar, apa yang anda rasakan dengan apa yang saya rasakan, cinta anda dengan cinta saya.”[4]



Di samping itu, ada beberapa kasus, di mana kita dapat setuju tanpa melibatkan simpati ataupun perasaan moral kita. Di dalam situasi semacam ini, kita mendasarkan penilaian kita pada upaya sebelumnya untuk bersimpati dengan kasus yang serupa. Yang dibutuhkan adalah pertimbangan yang lebih matang tentang situasi yang ada, dan simpati otomatis akan timbul, terutama di dalam situasi yang kita setujui. Hal ini adalah inti utama dari argumentasi yang dikembangkan oleh Smith, yakni simpati merupakan sebuah tindak menggeneralisasi upaya kita untuk bersimpati dengan suatu tindakan partikular.



Dengan demikian, kita tidak memerlukan keutamaan khusus untuk merumuskan suatu prinsip umum, karena prinsip umum tersebut merupakan generalisasi dari tindakan-tindakan partikular. Sikap kita terhadap suatu kasus partikular tidak membutuhkan suatu keutamaan moral tertentu, karena sikap kita merupakan wujud konkret dari reaksi emosional yang wajar, seperti marah, senang, dan sebagainya. Maka, penilaian moral merupakan suatu ekspresi kesetujuan ataupun ketidaksetujuan antara reaksi perasaan ini, dan reaksi yang dibayangkan dari seorang pengamat yang tidak berpihak. “Di dalam semua kasus”, demikian Smith, “di mana ada korespondensi perasaan antara pengamat dengan orang yang terkait, pengamat haruslah, pertama-tama, berupaya, sedapat mungkin, menempatkan dirinya di dalam situasi orang lain, dan untuk membawa keadaan sedikit yang mungkin saja muncul di orang itu..”[5]



Adam Smith adalah teman dekat dari David Hume. Pemikiran Smith pun banyak dipengaruhi oleh Hume. Akan tetapi, Smith juga tidak setuju dengan beberapa pendapat Hume. Ketidaksetujuan yang paling tajam adalah bidang etika. Menurut Hume, alasan bahwa kita menilai suatu tindakan sebagai baik adalah kegunaan yang timbul dari tindakan itu, baik bagi orang yang menjadi obyek tindakan, ataupun bagi umat manusia secara keseluruhan. Smith menolak argumen ini. Ia memang setuju bahwa suatu tindakan yang dinilai sebagai baik secara moral tentu memiliki kegunaan tertentu. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa bukan kegunaanlah yang menjadi dorongan utama, sehingga kita menganggap suatu tindakan sebagai baik. Kegunaan sebagai prinsip utama suatu tindakan moral merupakan kesimpulan para pemikir yang cenderung tidak melihat intensi parikular, melainkan terjebak pada generalisasi untuk merumuskan prinsip-prinsip abstrak. Tesis bahwa kita mencintai keutamaan hanya karena kegunaannya merupakan ilusi yang banyak dirumuskan oleh para filsuf yang cenderung mengabstraksi, sehingga kehilangan nuansa partikular yang konkret. Dalam kehidupan sehari-hari, orang cenderung setuju atau tidak setuju akan sesuatu dengan menjadi reaksi emosional mereka sebagai dasar dari penilaian. Dasar dari penilaian moral mereka adalah suatu tindakan yang mempertimbangkan aspek sebab akibat dan situasi konkret, serta bukan kegunaannya.



Dengan demikian, Smith secara jelas menolak tesis David Hume yang melihat dasar dari tindakan moral adalah kegunaannya. Keadilan juga bukanlah masalah fungsionalitas semata. Konsep keadilan sangat tergantung dari reaksi kita terhadap kasus-kasus partikular. Di dalam kehidupan bermasyarakat, penerapan keadilan mutlak diperlukan. Akan tetapi, keadilan bukanlah diciptakan untuk menguntungkan masyarakat. Menurut Smith, Tuhanlah yang menciptakan keadilan, dan meletakkan ide itu di dalam hakekat manusia. Kita mengecam ketidakadilan lebih-lebih bukanlah karena rasio kita berkata begitu, melainkan emosi alamiah dan spontan yang kita miliki. Bahwa reaksi ini memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat bukanlah suatu pertimbangan primer. Perlindungan dan perkembangan masyarakat adalah suatu konsekuensi yang tidak direncanakan dari ketidaksetujuan setiap orang terhadap semua bentuk ketidakadilan. Alam dan Tuhanlah yang membuat perlindungan dan perkembangan masyarakat menjadi mungkin. Pola yang sama juga dapat ditemukan di dalam teori ekonomi Smith, yakni masyarakat adalah hasil yang tidak direncanakan dari tindakan individual yang saling mengejar kepentingan dirinya masing-masing.



***

Perasaan adalah sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Manusia yang tanpa perasaan sama seperti mayat hidup yang berjalan. Demikianlah Smith menegaskan bahwa perasaan memungkinkan manusia untuk bersimpati, yakni untuk mengambil posisi dari perspektif orang lain, sehinga pertimbangan orang lain menjadi bagian penting di dalam penilaian moral kita. Tidak hanya itu, manusia juga harus mampu membayangkan bahwa ada sosok yang disebut sebagai pengamat yang tak berpihak, yang dapat menilai secara obyektif semua tindakan, sehingga penilaian moral juga nantinya dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan membayangkan adalah mutlak diperlukan disini. Rasio tanpa perasaan tidak akan membuat manusia terdorong untuk berbuat kebaikan. Karena, berbuat baik mengandaikan orang mampu membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi orang yang menderita. Oleh karena itu, berbuat baik membutuhkan simpati, dan simpati membutuhkan perasaan. Baru setelah perasaan kita tergerak untuk membantu orang yang memerlukan, maka rasio kita baru dapat memutuskan langkah-langkah strategis apakah yang mesti dilakukan. Apakah rasio kemudian hanyalah budak dari perasaan?



Saya pikir kesimpulan bahwa rasio adalah budak dari perasaan masihlah terlalu dini untuk dipastikan hanya dengan argumentasi Smith. Alasannya sederhana, Smith berupaya merumuskan sebuah teori tentang perasaan, dan dengan tindakan ini, ia sudah selalu mengandaikan dan menggunakan rasionya. Orang tidak mungkin menulis tanpa menggunakan rasionya, begitu pula dengan Smith. Akan tetapi, kita bisa semakin sadar bahwa manusia seringkali lebih kuat terdorong untuk berbuat baik, jika perasaanya disentuh. Smith juga mampu menjelaskan bahwa manusia lebih sering menilai sesuatu sebagai baik dan buruk bukan dengan pertimbangan rasionalnya, melainkan dengan perasaan, dengan simpatinya, dan dengan apa yang ia rasakan secara spontan, ketika melihat suatu perbuatan. Setelah momen spontan itu, barulah rasio masuk dan mengajukan pertimbangan-pertimbangan.



Refleksi Smith dapat membuat kita sadar betapa manusia itu memiliki potensi dan dimensi yang sangat luas di dalam dirinya, bahwa perasaan manusia itu bagaikan lautan pemahaman yang seringkali melampaui pertimbangan-pertimbangan rasional. Mungkin, perubahan masyarakat tidak mungkin dilakukan, jika kita tidak segera merumuskan suatu cara bagaimana perasaan kolektif masyarakat dapat diatur demi mencapai keadaan yang lebih baik. Mungkin, bukanlah rasio dengan segala pertimbangannyalah yang mampu membuat masyarakat maju, tetapi pengaturan perasaan-perasaan kolektif yang ada di masyarakat. Dengan demikian, fungsi rasio dapat berubah dari pilar otoritas penentuan segala kebijakan menjadi cara untuk mengatur berbagai perasaan kolektif yang ada, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih jauh. Mungkin. Kita lihat saja…

Read More......


“Memanipulasi” Tuhan?

“Kesunyian adalah esensi dari mistisme”

Wulff



Kita berharap banyak pada Tuhan. Melalui doa, puasa, dan sedekah kepada yang papa, kita berharap Tuhan menganugerahkan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita.



Berbagai peradaban di dunia sudah sejak dulu melakukan pemujaan kepada dewa-dewa, supaya mereka memperoleh kemakmuran dan kekuatan. Beberapa diantaranya bahkan melakukan pengorbanan manusia untuk mencapai cita-cita itu.



Akan tetapi, melalui ritual dan pemujaan itu, apakah kita pernah merasa sungguh dekat padaNya? Apakah melalui doa-doa dan sikap hidup kita, kita pernah merasakan kebersatuan denganNya? Atau justru, yang kita lakukan seringkali adalah “menyuap” Tuhan dengan doa dan sikap kita, supaya Ia memenuhi keinginan kita? Jangan-jangan, hubungan kita dengan Tuhan tak ubahnya seperti hubungan budak dengan majikannya, yang kerap kali tanpa kedekatan emosional dan ‘keintiman’ sama sekali?



Di dalam kajian psikologi agama, perasaan dekat dengan Tuhan itu ternyata adalah suatu perasaan psikis manusia yang bisa direkayasa sesuai kehendak, asal kita tahu cara yang tepat untuk melakukannya. Dengan kata lain, perasaan mistik, yakni perasaan dekat dan “intim” dengan Tuhan, bukanlah monopoli para orang kudus ataupun sufi, tetapi bisa diperoleh oleh siapapun tanpa pandang bulu!



Pertanyaannya lalu, bagaimana kita melakukannya? David M. Wulff, seorang ahli psikologi agama, berpendapat bahwa ada beberapa cara spesifik yang bisa ditempuh, yakni berpuasa, mengurangi waktu tidur, mengisolasikan diri dari dunia sosial, dan mengatur napas secara tepat.
Mencapai Pengalaman Religius



Dengan berpuasa, orang bisa mengatur dorongan badaniahnya. Ia bisa melatih diri untuk menahan dorongan survival manusia yang paling dasar, dan kemudian memperoleh pengalaman religius.



Berbagai tradisi religius di dunia memiliki ragam tradisi puasa yang juga berbeda. Akan tetapi, esensi dari semuanya adalah, bahwa manusia harus dapat berkorban untuk mencapai kebahagiaan yang paling otentik, yakni pengalaman mistik bersatu dengan Tuhan.



Cara kedua untuk memperoleh pengalaman religius adalah dengan mengurangi waktu tidur. Di banyak tradisi religius besar di dunia, cara ini dianggap sebagai persiapan yang paling ideal untuk memulai suatu ritual khusus yang bersifat religius.



Mengurangi waktu tidur juga dianggap sebagai bagian dari displin asketik yang mungkin dilakukan manusia, yakni suatu cara mendisplinkan diri untuk memperoleh keutamaan-keutamaan moral ataupun religius. Beberapa mistikus Kristen, seperti Saint Peter dari Alcantara, Therese Neumann, dan Catherine dari Siena, konon hanya tidur satu jam sehari.



Cara ketiga untuk memperoleh pengalaman religius atau pengalaman mistik adalah dengan mengisolasikan diri dari dunia sosial. Dunia sosial, yang penuh dengan kesibukan dan hiruk pikuk peradaban, dianggap mengganggu relasi manusia dengan Tuhan, oleh karena itu, dunia sosial haruslah ditinggalkan.



Seperti kedua cara sebelumnya, tindak mengisolasikan diri dari dunia sosial memiliki tujuan dasar yang sama, yakni untuk memperdalam kesadaran religius. “Kesunyian”, demikian tulis Wulff, “adalah esensi dari mistisisme” (Wulff, 1999)



Biasanya, orang mengisolasikan diri mereka dari dunia sosial dengan pergi ke gunung, hutan, ataupun gurun. Di tempat-tempat terpencil itu, mereka berdoa dan berkontemplasi hampir sepanjang waktu.



Kajian psikologi agama juga membuktikan, bahwa beberapa di antara orang-orang yang pernah mencoba menarik diri dari dunia sosial akan mengalami halusinasi, depersonalisasi, dan gejolak emosi yang bersifat ekstrem. Jadi, cara ini memang tidak mudah, dan menuntut pengorbanan besar.



Cara terakhir untuk memperoleh pengalaman religius adalah dengan melakuan pengaturan napas secara tepat. Dibarengi dengan mengucapkan beberapa kata dalam ritme yang tetap, proses pengaturan napas bisa membawa manusia ke dalam keadaan ekstase yang dalam arti tertentu bisa meningkatkan kesadaran religiusnya.



Taoisme di Cina sudah lama mengenal cara semacam ini. Para guru Tao melakukan pengaturan napas supaya mereka bisa memperoleh kedekatan dengan alam, dan memperkuat vitalitas tubuh mereka.



Tidak ada satu pun tradisi religius di dunia yang memberikan perhatian besar kepada pengaturan napas, seperti yang ada di dalam tradisi Yoga di India. Para Yoga dan Yogi melakukan meditasi, berkonsentrasi penuh, untuk mendapatkan perasaan harmonis, meningkatkan kesadaran religius, dan mencapai perasaan ekstasis.



Jadi?



Jadi, apakah doa dan pujian kita kepada Tuhan sungguh hanya suatu tindak ‘manipulasi’, atau berangkat dari kerinduan eksistensial kita untuk menyentuh dan mencintai Dia seutuhnya?



Bisakah kita melatih diri kita sendiri, melalui cara-cara yang telah dipaparkan sebelumnya, supaya kita sungguh memperoleh kedekatan denganNya, dan membangun relasi yang tidak asal “meminta”, atau instrumental saja?



Jika hubungan kita dengan Tuhan hanya bersifat instrumental saja, tidak heran bahwa di Indonesia, kemunafikan religius bagaikan duri di dalam daging religiositas manusia yang menusuk dan merusak secara perlahan… tapi pasti!

Read More......

“Silahkan sebar berita buruk tentang saya. Saya tidak peduli selama saya masih tetap kaya”, begitulah tanggapan seorang direktur perusahaan asuransi besar asal Amerika Serikat, ketika dikonfrontasi soal pelanggaran yang dilakukan perusahaannya. Ini dialog di dalam salah satu film yang diputar di stasiun televisi asing. Tentu saja dialog ini fiksi. Akan tetapi cara berpikir yang ada di belakang sang direktur tersebut identik dengan cara berpikir para konglomerat di seluruh dunia; tidak peduli dengan dunia, selama ia masih tetap kaya.

Saya menduga sang direktur tidak sendirian. Ratusan ribu direktur lainnya dari seluruh dunia hidup dan bertindak dengan pola berpikir serupa. Kerakusan adalah sifat yang inheren di dalam diri manusia. Sifat itu tidak akan berkembang, selama struktur sosial tidak mendukung perkembangannya.

Kapitalisme dalam segala bentuknya adalah sistem sosial yang secara langsung mendorong dan melestarikan kerakusan, baik di level individu maupun sosial. Kapitalisme adalah pelembagaan kerakusan. Yang lenyap di dalam kapitalisme adalah relasi yang manusiawi dan solidaritas sebagai komunitas. Relasi digantikan menjadi transaksi.

Seberapapun kita mengutuknya sulit untuk memikirkan dunia tanpa kapitalisme sekarang ini. Kapitalisme sebagai sistem yang mendorong dan melestarikan penumpukan modal sebesar-besarnya sudah berurat akar pada peradaban dunia. Yang bisa dilakukan adalah menggoyang pengandaian-pengandaian yang menjadi dasar dari sistem kapitalisme, yakni tentang apa artinya menjadi komunitas. Komunitas dibentuk melalui solidaritas, dan solidaritas dibentuk di dalam upaya tanpa lelah untuk melampaui kerakusan.

Esensi Kerakusan

Kerakusan itu inheren di dalam diri manusia. Ia tertanam jauh di dalam kemanusiaan setiap orang, dan menunggu untuk keluar serta merangsek yang ada di sekitarnya. Ada dua kondisi hakiki manusia yang menjadi rahim bagi kerakusan, yakni hasrat untuk berkuasa dan rasa kurang yang tertanam di dalam diri setiap orang. Aku rakus maka aku ada, itulah diktum yang menjadi dasar dari sistem kapitalisme.

Lebih dari seratus tahun lalu, Nietzsche mengingatkan kita, bahwa peradaban didorong oleh suatu kekuatan purba yang tersembunyi, yakni kehendak untuk berkuasa. Moralitas dan agama adalah simbol luhur yang menutupi fakta mengerikan di baliknya, yakni kehendak untuk berkuasa. Atas nama moralitas orang menguasai dan menindas. Atas nama agama perang dan penghancuran dilakukan.

Sains dan teknologi adalah hasil ciptaan manusia yang bertujuan untuk menguasai dan mengontrol alam demi kepentingannya sendiri. Retorika kebaikan yang ada di dalam penciptaan dan penerapan teknologi sebenarnya menyembunyikan fakta penghancuran alam yang berkelanjutan. Sains dan teknologi adalah simbol kerakusan manusia yang terselubung, namun sangat ganas. Kedokteran adalah simbol kehendak manusia untuk menguasai kematian.

Kehendak untuk berkuasa tidak hanya tertanam sebagai kekuatan purba pembentuk peradaban, tetapi juga di dalam diri setiap individu. Kehendak untuk berkuasa inilah yang menjadi kondisi-kondisi yang melahirkan tindak rakus di dalam aktivitas sosial manusia. Kehendak untuk berkuasa itu membutakan. Ia membuat manusia melupakan nilai-nilai yang membuat kehidupan itu berarti.

Seorang filsuf asal Perancis, Jacques Lacan, pernah berpendapat, bahwa manusia adalah subyek yang selalu merasa kurang (lack). Jauh di dalam dirinya, manusia terus mencari tanpa pernah sungguh menemukan. Hidupnya bagaikan perjalanan yang tak mengenal kata akhir. Fakta ini mendorong orang untuk menaklukkan, dan menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya kerakusan.

Kapitalisme hidup dan berkembang di dalam pola berpikir penguasaan dan adanya rasa kurang yang tertanam di dalam diri manusia. Kehendak untuk berkuasa dan rasa kurang tersebut menciptakan kecemasan yang sangat mendasar, yakni kecemasan tentang keberadaan dirinya. Dengan pesona materialnya kapitalisme berusaha menenangkan kecemasan tersebut, walaupun selalu jatuh di dalam kegagalan. Inilah awal lahirnya berbagai bentuk kelainan jiwa di dalam masyarakat modern. Kegilaan (madness) lahir dan bertumbuh bersama dengan kapitalisme.

Melampaui Kerakusan

Sejuta kebijakan tidak akan bisa mengubah kerakusan yang bercokol pada diri individu dan masyarakat. Yang sungguh diperlukan adalah perubahan persepsi tentang dunia. Konsep aku (I) tidak bisa lagi dipandang sebagai aku yang terpisah dari kamu dan kalian, melainkan aku sebagai bagian dari kami. Konsep aku adalah konsep sesat yang segera harus direvisi.

Pada level kolektif konsep kita (we) harus diubah menjadi kami (us). Kita itu mengikat yang sama, dan memisahkan yang berbeda. Kekitaan adalah awal dari prasangka, dan prasangka adalah pemicu konflik yang paling efektif. Sementara kami itu ingin memeluk semua. Kami tidak memisahkan melainkan ingin menyatukan diri secara harmonis dengan yang berbeda.

Kekamian lahir dari kesadaran penuh, bahwa manusia saling membutuhkan, lepas dari segala perbedaan yang sudah ada, maupun yang akan ada. Kerakusan mengancam kekamian maka harus dilenyapkan. Masyarakat yang hidup dengan paradigma kekitaan perlahan namun pasti akan lenyap ditelan perubahan jaman. Aku rakus maka aku ada adalah diktum yang mengarah pada perpecahan dan kehancuran. Diktum baru yang menunggu untuk lahir adalah; aku menjadi kami, maka aku ada. Kami ada. ***

Read More......

Sergapan berbagai aksi kekerasan di beberapa wilayah Indonesia yang jauh dari gelora cinta dan hadangan dari gelora alam yang tidak bersahabat, berujung kepada pembedaan antara logika cinta yang baku-sayang dan logika gangster yang baku-bunuh.

Logika berurusan dengan ketepatan bernalar. Contohnya, jika semua benda yang dipanasi memuai, dan ban mobil itu dipanasi dalam perjalanan, maka disimpulkan bahwa, ban mobil itu memuai.

Kalau semua pegawai negeri adalah penerima gaji, dan semua pegawai swasta adalah penerima gaji, maka tidak dapat disimpulkan bahwa pegawai negeri adalah pegawai swasta.

Logika gangster pernah mengguncang New York dan Chicago, melahirkan dan membesarkan sejumlah jawara nomor wahid.

Sebut saja, Dion O`Banion, Johnny Torrio, Al Capone, Joe Masseria, Salvatore Maranzano, Vito Genovese. Ingin menjejak drama demi drama berlumur aksi balas dendam dari "Cosa Nostra", silakan membaca novel garapan Mario Puzo berjudul "The Godfather".

 (gambar-thenightbirdcalls.wordpress.com)

Oknum gangster kala itu mengelola bisnis narkoba, perjudian, pelacuran, dan minuman keras. Mereka menangguk uang sebanyak-banyaknya dengan memeluk seerat-eratnya dogma tujuan menghalalkan cara.

"Cosa Nostra" memahami bahwa pelacuran tampil sebagai profesi tertua di dunia, sementara gangsterisme tampil sebagai profesi kedua tertua sejagat. Gangsterisme anak sah dari logika gangster.

Para kriminolog bersibuk mencari pemicu munculnya gangsterisme kemudian menemukan bahwa para aktor gangster bukanlah iblis tanpa hati.

Mereka manusia yang dapat berbahasa dan berbelas kasih sebagai layaknya manusia. Dengan melakoni hidup di perkampungan kumuh dan pemukiman padat penduduk, plus menelan aneka masalah keluarga, seorang gangster menuntut keadilan paling dasariah yakni mata ganti mata, gigi ganti gigi.

Bagi para gangster, keadilan semata-mata urusan privat. Dan balas dendam terletak di tangan masing-masing orang. Mereka mengajukan pertanyaan, mengapa masyarakat bisa ditipu dan atas dasar apa penipuan itu dijalankan. Orang bisa dikelabui dan ditelanjangi kalau orang itu tidak tahu.

Menurut pengamat filsafat GP Sindhunata SJ dalam bukunya Kambing Hitam, orang bisa dikelabui kalau orang itu tidak tahu dan tidak paham. Pengelabuan menyangkut ketidaktahuan dan ketidakpahaman. Akal-akalan terjadi dalam wilayah kegelapan dan ketidakpastian.

New York dan Chicago dibakar gangster karena orang saat itu diperlakukan sebagai "tikus" yang dapat dibasmi dan dianggap sebagai hewan buruan. Pada 1958, Hong Kong dibayangi aksi keji para gangster. Salah satunya, keluarga pedagang kaya Ko Sun Wei bersama empat anaknya dihabisi seketika di rumahnya di Kowloon. Terletak di antara laut dan dan bebukitan, Hong Kong dikenal sebagai kota padat penduduk.

Apakah logika gangster berkaitan dengan aksi kekerasan di sejumlah wilayah Indonesia belakangan ini? Ironisnya, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera Raya, tiga orang meregang nyawa dan sembilan orang mengalami luka-luka.

Ingatan kolektif publik disengat oleh catatan hitam dari aksi baku bunuh di sejumlah wilayah Indonesia.

Harian Kompas mencatat, pada 14 April 2010, penertiban bangunan Gapura Mbak Priok oleh Pemkot Jakarta Utara memicu bentrok antara massa dan satpol PP, 228 terluka dan tiga tewas. Pada 30 Mei, di Duri Kawasan Petir, Cengkareng dan Duri Kosambi, Jakarta Barat, satu orang tewas dalam bentrokan antarkelompok massa akibat tewasnya seorang anggota salah satu ormas.

Nyawa terus raib. Pada 9 Juli, satu orang tewas dan satu terluka dalam bentrokan antara warga Batu Merah Dalam dan batu Merah Kampung, Ambon Maluku. Kerusuhan itu dipicu kecelakaan lalu lintas.

Pada 29 Juli, terjadi bentrokan antara massa jemaah Ahmadiyah di Kuningan Jawa Barat, yang akan dibubarkan ormas Islam lainnya. Pada 26-29 September, lima orang tewas dan empat warga lainnya terluka dalam konflik antaretnis di Tarakan, Kalimantan Timur.

Rentetan aksi dari logika gangster itu jauh dari logika cinta. Bukankah logika cinta dihidupi dari lahan "hormon cinta" yang bisa menginduksi perasaan cinta, rasa percaya, dan kemurahan hati.

Kalau logika cinta memberi sentuhan sederhana dan ringan, seperti usapan, tepukan di pundak, atau pelukan antara teman atau pasangan, maka logika gangster memuat hormon "jarang dibelai atau jarang diusap oleh sesama". Logika cinta menawarkan persahabatan hangat, sementara logika gangster menjajakan dan mengobarkan bara kebencian.

Logika gangster mengejawantah dalam sikap menghabisi sesama karena beranggapan "mereka bukan dari kalangan kita". Logika cinta menawarkan dan menempuh ziarah hiduk "kekitaan" dengan bergandengan tangan, melewati momen persahabatan.

Berbekal logika cinta, remaja dapat leluasa mengkhayalkan buah hatinya dan menghabiskan hari-hari indah dengan mendengar nyanyian burung dekat jendela kamar, atau melewati kebersamaan.

Di mata kepolisian, logika gangster dibaptis sebagai premanisme. Dalam amatan kepolisian, premanisme terkait dengan masalah ekonomi, sosial, dan budaya.

Dilancarkanlah razia kepemilikan senjata. "Kita mungkin mengalami kendala karena kepemilikan senjata tidak bisa dilihat orang per orang," kata Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Pol Ito Sumardi ketika ditemui setelah upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta.

Sementara Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) mengintensifkan operasi pemberantasan premanisme. "Perlu pendekatan lebih khusus secara lintas sektoral," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Pol. Boy Rafli Amar.

Untuk menelanjangi logika gangster dan memberantas premanisme, ada pelajaran dari lintas sejarah dari Revolusi Perancis ketika menghadapi "teror agung" (la grande terreeur). September 1793, Robbespierre membersihkan rakyat Perancis dari semua anasir yang semangatnya dianggap tidak murni.

Atas nama kehendak rakyat, Robbespierre menghukum mati siapa saja yang dicurigai anti revolusi, tanpa melewati proses pengadilan dengan mengandalkan diri kepada logika bahwa kecurigaan rakyat selalu benar. Ujung-ujungnya "la guillotine" berbicara.

Kata didefinisikan oleh kata-kata lain yang maknanya sudah diketahui, misalnya, "lajang adalah orang yang belum menikah". Publik tahu arti kata "lajang", karena sudah tahu arti "menikah". Jika ekspresi bahasa tidak dapat ditelusuri ke pengalaman, maka itulah cara untuk menunjukkan bahwa ekspresi sudah tidak lagi bermakna.

Logika gangster sejatinya merujuk kepada matinya eskpresi berbahasa. Logika gangster bagaikan kata yang hanya mengacu kepada kata (regressi ad finitum), bukan kepada pengalaman keseharian. Ada logika gangster dalam berkata-kata.(Antara)

Read More......

"Neo-liberalisme" adalah seperangkat kebijakan ekonomi yang meluas
sejak sekitar 25 tahun terakhir ini. Liberalisme" dapat mengacu pada
ide-ide politik, ekonomi, atau bahkan relijius. "Neo" berarti kita
membicarakan jenis baru liberalisme. Jadi apa jenis lamanya? Pemikiran
ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang
pakar ekonomi Skotlandia, menerbitkan buku pada 1776 berjudul THE
WEALTH OF NATIONS. Ia dan beberapa lainnya mengadvokasikan penghapusan
intervensi pemerintah dalam masalah perekonomian. Tidak ada pembatasan
dalam manufaktur, tidak ada sekat-sekat perdagangan, tidak ada tarif,
katanya; perdagangan bebas adalah cara terbaik bagi perekonomian suatu
bangsa untuk berkembang. Ide-ide tersebut "liberal" dalam arti tidak
ada kontrol. Penerapan individualisme ini mendorong usaha-usaha
"bebas", kompetisi "bebas" -- yang kemudian artinya menjadi bebas bagi
kaum kapitalis untuk mencetak keuntungan sebesar yang
diinginkannya.Liberalisme ekonomi berlangsung di Amerika Serikat
sepanjang 1800an dan awal 1900an. Kemudian Depresi Besar tahun 1930an
membuat seorang pakar ekonomi bernama John Maynard Keynes merumuskan
sebuah teori yang menyangkal liberalisme sebagai kebijakan terbaik
bagi kaum kapitalis. Ia berkata, pada intinya, bahwa kesempatan kerja
penuh (full employment) dibutuhkan agar kapitalisme tumbuh dan itu
hanya dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral melakukan
intervensi untuk meningkatkan kesempatan kerja. Ide-ide ini banyak
mempengaruhi program New Deal Presiden Roosevelt -- yang sempat
memperbaiki kehidupan banyak orang.Keyakinan bahwa pemerintah harus
menomorsatu kan kepentingan umum diterima secara meluas.Tapi krisis
kapitalis selama 25 tahun terakhir, dengan penyusutan tingkat
profitnya, menginspirasikan para elit korporasi untuk menghidupkan
kembali liberalisme. Inilah yang menjadikannya "neo" atau baru. Kini,
dengan globalisasi ekonomi kapitalis yang pesat, kita menyaksikan
neo-liberalisme dalam skala global. "apa yang ditawarkan kaum Kanan
adalah mengubah dunia menjadi sebuah mal besar di mana mereka dapat
membeli kaum Indian di sini, perempuan disana..." dan ia dapat juga
menambahkan, anak-anak, imigran, pekerja atau bahkan seluruh
negeri."Pokok-pokok pemikiran neo-liberalisme mengandung:. KEKUASAAN
PASAR. Membebaskan usaha "bebas" atau usaha swasta dari ikatan apa pun
yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar
kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar
bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti NAFTA.
Menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan
menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan
bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga.Secara
keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital, barang dan jasa.
Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka
mengatakan bahwa "pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik
meningkatkan pertumbuhan ekonomi,yang akhirnya akan menguntungkan
semua orang." Itu seperti ekonomi"sisi persediaan" (supply-side) dan
"tetesan ke bawah" (trickle-down) yang dijalankan Reagan -- tapi
kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes. MEMANGKAS
PEMBELANJAAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL seperti pendidikan dan
layanan kesehatan. MENGURANGI JARINGAN-PENGAMANAN BAGI KAUM MISKIN,
dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air --
lagi-lagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka
tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar..
DEREGULASI. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang
dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan
keamanan tempat kerja. PRIVATISASI. Menjual perusahaan-perusahaan,
barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini
termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol,
listrik,sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya
dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering
dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian
kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikitT dan menjadikan
khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya. MENGHAPUS
KONSEP "BARANG PUBLIK" dan menggantikannya dengan "tanggung-jawab
individu." Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk
mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan,pendidikan
dan keamanan sosial mereka -- kemudian menyalahkan mereka, bila gagal,
karena "malas."Di penjuru dunia, neo-liberalisme didesakkan oleh
institusi-institusi finansial besar seperti Dana Moneter Internasional
(IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia. Ia
merajalela di penjuru dunia. " Pihak yang diuntungkan oleh
neo-liberalisme hanyalah minoritas rakyat dunia. Bagi mayoritas
besarnya ia membawa lebih "banyak penderitaan daripada sebelumnya:
menderita tanpa capaian kecil yang susah payah dimenangkan dalam 60
tahun terakhir, penderitaan tiada henti.(kontakrakyat)

--
hasta la victoria siempre

Read More......

Sudahkan menonton film “Conspiracy Theory”, yang dirilis tahun 1997 dan dibintangi oleh Mel Gibson dan Julia Roberts. Film yang menceritakan tentang seorang maniak teori konspirasi bernama Jerry Fletcher (Mel Gibson) yang bekerja sebagai sopir taksi.

Pria tampan berpenampilan cuek tapi terlihat cerdas tersebut sedang kasmaran dengan seorang wanita bernama Alice Sutton (Julia Roberts) yang bekerja untuk pemerintah. Jerry yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah memiliki teori yang disebutnya Conspiracy Theory atas dugaan pembantaian yang dilakukan oleh beberapa tokoh politikus. Ternyata, tanpa diduga salah satu teori Jerry menjadi kenyataan. Sehingga tak heran, Jerry pun diburu oleh sekelompok orang asing atas suruhan politikus yang terlibat dalam teori konspirasi Jerry. Bahkan Jerry harus dibunuh sebelum teori itu menjadi pusat perhatian masyarakat. Satu-satunya orang yang dapat dipercaya oleh Jerry adalah Alice, wanita yang dicintainya. Namun sayangnya Alice tidak tahu apa yang harus diperbuat karena semua mengandung misteri.

Konspirasi-konspirasi seperti yang digambarkan di dalam film Conspiracy Theory itu memang ada. Di dalam dunia usaha global, perusahaan besar membeli produk-produk setiap harinya, adalah bagian dari konspirasi untuk memperbaiki harga di pasar dan mengurangi kompetisi. Definisinya adalah setiap tindakan jahat yang direncanakan dan melibatkan banyak orang bisa dikatagorikan sebagai sebuah konspirasi. Contohnya adalah skandal Watergate.

Banyak pakar teori konspirasi yang mungkin sedikit melebih-lebihkan pendapatnya. Meskipun demikian mereka telah melihat tangan yang tersembunyi (invinsible hand) di balik kejadian-kejadian di dunia yang terjadi saat itu. Sementara itu beberapa teori mempunyai sedikit kebenaran saja, walaupun untuk beberapa teori konspirasi sangat mustahil untuk dilakukan pembuktian terbalik, karena banyak orang berkeyakinan akan menemukan beberapa cara rasional untuk mencari bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Beberapa kesaksian diperdebatkan karena kesimpulan-kesimpulan mereka yang keliru – atau dicurigai mungkin bagian dari konspirasi juga.

Berikut adalah 10 teori konspirasi di dunia yang sebagian masih diperdebatkan.
1. Perusahaan Obat “Big Pharma”

Barangkali hampir semua orang (kecuali pemilik sahamnya) tidak menyukai perusahaan farmasi karena harga obat yang terlalu mahal. Selain itu ada indikasi upaya perolehan laba perusahaan yang dilakukan secara tidak benar, dan tampaknya setiap beberapa bulan ada korban-korban berjatuhan dari beberapa obat yang sebelumnya diklaim sangat aman. Itu adalah kejadian kecil dari industri obat (Perusahaan Obat Big Pharma) yang diawasi dengan rasa curiga oleh masyarakat.

Beberapa penganjur "pengobatan alternatif" percaya bahwa perusahaan farmasi benar-benar berkomplot untuk menjadikan orang-orang tetap sakit demi keuntungan bisnis. Sebagai contoh, Kevin Trudeau (pengarang buku bestseller berjudul "Natural Cures They Don’t Want You To Know About” atau cara perawatan Alami dimana mereka tidak mau anda mengetahuinya) mengklaim informasi kesehatan yang penting telah disembunyikan dengan adanya konsfirasi antara pengambil kebijakan kesehatan dengan perusahaan obat besar. Menurut Trudeau, "Ada kelompok-kelompok tertentu, termasuk... industri obat ... yang tidak menghendaki masyarakat memahami cara penjagaan kesehatan supaya tidak diserang berbagai macam penyakit..." Aktris dan model Jenny McCarthy nampak baru-baru ini di "Larry King Live," menuduh para dokter dan industri farmasi berkomplot untuk melenyapkan bukti medis dari sebuah mata rantai yang menjelaskan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin-vaksin yang disuntikkan pada masa bayi dan autism yang diderita anak-anak tersebut kemudian.

2. Sekte Pemuja Setan

Sepanjang tahun 1980-an dan awal 1990-an, suatu epidemi pelecehan seksual pada anak-anak telah menggemparkan Amerika. Beberapa anak-anak menuduh orang dewasa dari sebuah sekte agama telah memperkosa, menyiksa, dan melakukan pelecehan seksual terhadap mereka, dan media massa memberitakan kisah-kisah yang sensasional. Tuduhan-tuduhan yang dilancarkan termasuk adanya kegiatan satanisme atau pemujaan setan.

Puncaknya adalah bintang tamu acara NBC Special “Devil Worship: Exposing Satan’s Undergorund” atau “Pemujaan Setan: Memperkenalkan Setan Bawah Tanah”, bernama Geraldo Rivera yang mengudara pada 28 Oktober 1988. Rivera memproklamirkan dirinya sebagai "Pakar satanisme (pemujaan iblis)," Kegiatan para pemuja setan itu adalah menyesatkan publik, data statistik yang tidak akurat, kejahatan-kejahatan dengan hubungan yang lemah dengan satanisme, dan laporan media-media sensasional. Dalam apa yang disebut kemampuan melihat yang kuat atas sebuah dokumen di dalam sejarah televisi, Rivera mengklaim bahwa ada sebuah kegiatan yang diorganisasikan oleh para pemuja setan yang berkonspirasi untuk membunuh bayi-bayi, membunuh orang yang tidak bersalah, dan melaksanakan upacara agama mengerikan. "Terdapat lebih dari satu juta pemuja setan di negeri ini," kata Rivera, yang kemudian ditambahkannya, "Permasalahannya adalah, mereka itu berada di kota Anda." Rivera tidak menunjukkan bukti atas itu semua; ketiadaan bukti itu dilihat sebagai bukti bahwa begitu hebatnya mereka mengorganisir dan sungguh pintarnya konspirasi para pemuja setan tersebut. Sedikit sekali bukti yang mendukung klaim tentang adanya kelompok pemuja-pemuja Satanic atau konspirasinya.

Pada tahun 1992 dilaporkan tentang kejahatan dalam upacara agama, agen FBI Kenneth Lanning menyimpulkan bahwa desas-desus tentang adanya pembunuhan dalam sebuah upacara agama, tindakan kanibalisme, dan penculikan adalah tidak berdasar. Phillips Stevens, Jr., Ketua Asosiasi Guru Besar Antropologi dari State University of New York di Buffalo mengatakan bahwa pernyataan tanpa bukti yang tersebar luas tentang adanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pemuja setan sebagai “penglembagaan hoax terbesar yang dilakukan atas rakyat Amerika di abad dua puluh”.



3. Buku “Protocols of Learned Elders Zion”

"Protocols dari Learned Elders Zion" adalah sebuah buku – yang dipercayai sebagai hoax – diakui mengungkapkan adanya sebuah komplotan Yahudi yang ingin menguasai dunia. Hal tersebut pertama kali muncul di Rusia pada tahun 1905, dan menggambarkan bagaimana moralitas orang-orang Kristen, keuangan, dan kesehatan akan ditargetkan oleh sebuah kelompok kecil Yahudi tangguh.

Gagasan tentang adanya sebuah konspirasi Yahudi bukanlah sesuatu hal yang baru, tentu saja, dan sudah diceritakan secara berulang-ulang oleh banyak orang yang terkenal termasuk oleh Henry Ford dan Mel Gibson. Pada tahun 1920, Henry Ford telah mengeluarkan dana untuk memperbanyak buku "Protocols dari Elders Zion" yang diterbitkan pada tahun 1930-an hingga setengah juta kopi, dan buku tersebut digunakan oleh Nazi sebagai alasan untuk melakukan genocidenya – pemusnahan etnik - terhadap Yahudi (pada kenyataannya, Adolph Hitler membahas "Protokol-protokol" di dalam buku nya "Mein Kampf"). Meskipun demikian buku tersebut yang telah sepenuhnya diragukan dan dianggap sebagai sebuah hoax dan kepalsuan itu masih terus dicetak dan tetap secara luas diedarkan di seluruh dunia.


4. Kehancuran di Roswell yang ditutup-tutupi

Ada sebuah fakta bahwa hampir semua para skeptis dan orang-orang yang percaya bersepakat bahwa ada sesuatu yang dihancurkan di sebuah peternakan yang berada jauh di luar Roswell, New Mexico pada tahun 1947. Pemerintah pada mulanya mengklaim ada semacam piring terbang, lalu menarik kembali statemennya dan mengklaim bahwa sebenarnya hanya sejenis balon cuaca.

Namun bukti terbaik menyatakan bahwa bukan sebuah piring terbang ataupun sebuah balon cuaca, dan sebagai gantinya adalah sebuah level yang sangat tinggi, sebuah balon militer yang sangat rahasia yang diberi nama Project Mogul. Sepertinya hal ini mulai terbongkar ketika gambaran-gambaran rongsokannya pertama kali dilaporkan oleh saksi mata pertama yang kesaksiannya mengenai foto-foto balon Project Mogul sangat akurat kecocokannya, sampai kepada simbol seperti perak dan lambang aneh di sisinya.

Kisah-kisah sekitar tubuh alien atau makhluk asing yang dihancurkan tidak diangkat ke permukaan sampai beberapa dekade kemudiannya dan pada kenyataannya tidak seorang pun mempertimbangkan kehancuran Roswell sebagai bagian dari extraterrestrial (ET) atau makhuluk dari luar bumi atau hal-hal yang tidak biasa sampai tiga puluh bertahun-tahun kemudian, ketika sebuah buku yang membahas hal ini diterbitkan. Sepertinya ada yang sungguh-sungguh ingin menutupi-nutupi semua ini, tetapi tidak berhasil menyembunyikan sebuah piring terbang yang telah hancur, sebagai gantinya, untuk menutup-nutupi hal tersebut, diisukan sebagai bagian dari program mata-mata di masa perang dingin – antara US dengan Uni Sovyet.


5. Pembunuhan John F. Kennedy

John F.Kennedy dibunuh pada tahun 1963 di sebuah iring-iringan mobil di Dallas. Siapa yang telah membunuh Kennedy? Hampir semua - meskipun tidak semuanya – pakar teori konspirasiteori mengakui bahwa Lee Harvey Oswald menembak Kennedy dari sebuah kantor bank.

Di luar fakta ini beredar sangat banyak teori-teori konspirasi yang melahirkan banyak spekulasi tak ada akhir yang kemudian menjadi ratusan buku, artikel-artikel, dan film-film. Adakah seorang pembunuh kedua yang barangkali berada di dekat "bukit kecil penuh rumput"? Dan jika memang Oswald ini melakukannya sendirian, siapa yang memberinya perintah? Para aktivis musuh Fidel Castro? Boss-boss organisasi kriminal? Seorang suami yang cemburu terhadap Kennedy yang suka menggoda perempuan? Meskipun Warren Commission melaporkan suatu kesimpulan bahwa Oswald bertindak sendirian, tetapi pada tahun 1979 sebuah laporan dari The House Select Committee on Assassinations (Organisasi Komite Pengambil Keputusan tentang Pembunuhan) menyarankan bahwa benar-benar ada sebuah konspirasi, dan mungkin ada lebih dari satu penembak. Dalam kompleksitas yang demikian dan kasus sensasional, teori-teori konspirasi bisa menjadi hidup.


6. “Kematian” Paul McCartney

Menurut banyak kisah dan teori-teori konsporasi yang beredar di akhir tahun 1960-an; Gitaris Beatles Paul McCartney meninggal pada tahun 1966. Para anggota Beatles lainnya – diantaranya manajer mereka dan orang-orang lainnya – berkonspirasi untuk merahasiakan kematian McCartney, sedemikian rupa sampai-sampai membuat sebuah tampilan dan suara yang mirip dengan Paul dan menempatkannya di dalam grup. Bagaimanapun, dalam kasus ini ada pembelokan logika secara serius (bahkan oleh standar teori komplotan).


Dalam kasus ini orang-orang yang berkonspirasi telah mengambil suatu tindakan berani untuk membiarkan media dan masyarakat tetap mencari-cari cerita tentang kematian Mc Cartney – sebelumnya mereka juga menghendaki para penggemar Paul untuk mengetahuinya, dan menempatkannya di sampul album dan musik yang memberikan keterangan detail mengenai kematian McCartney. Sebagai contoh, di sampul album Abbey Road, keempat personal Beatles dipotret sedang melangkah di sebuah zebra cross, tetapi hanya McCartney yang berkaki telanjang tanpa sepatu, dan langkahnya tidak sama dengan yang lainnya. Adakah hal ini bermakna ada sesuatu ? Meskipun pengingkaran publik dilakukan oleh pihak grup, para penggemar tidak bisa membiarkan saja hal ini, dan mereka berusaha mencari lebih banyak petunjuk.


7. Hoax Pendaratan di bulan

Di tahun 1978 film Orang Capricorn, diceritakan tentang astronot Amerika dan NASA memalsukan sebuah pendaratan di Mars. Meskipun hanya sebuah film biasa, itu adalah sebuah gagasan yang menarik, dan akan bertahan untuk beberapa dekade.

Pada tahun 2001 Fox Televition menyiarkan program “Teori Konspirasi: Apakah Kita Sudah Mendarat di Bulan?”, yang membicarakan kembali hal-hal yang diragukan dan "pertentangan-pertentangan" antara versi yang resmi mengenai pendaratan di bulan dan foto-foto pendaratannya. Yang dipertanyakan, mereka tidak pernah menjelaskan mengapa NASA akan mendistribusikan foto-foto yang "membuktikan" bahwa mereka memalsukan pendaratan di bulan tersebut. Situs web seperti BadAstronomy.com mempunyai halaman demi halaman, poin demi poin yang berisi sangkalan-sangkalan yang terperinci dari klaim Fox. Tentu saja, meskipun ada beberapa bukti terpercaya yang menunjukkan bahwa pada tahun 1969 pendaratan di bulan oleh Apollo 11 adalah sebuah hoax, para pakar teori konspirasi harus juga memperhatikan misi-misi bulan kemudiannya dan menyertakan lusinan astronot. Dan ada banyak contoh ratusan pound batu bulan yang telah telah dipelajari di seluruh dunia dan telah dibuktikan keasliannya bukan berasal dari bumi kita ini … bagaimana cara NASA mendapatkan batu tersebut jika tidak selama pendaratan di bulan?

Banyak astronot telah diserang dengan tuduhan keterlibatan mereka dalam pemalsuan aktivitas mereka. Di dalam kenyataannya di tahun 2002, ketika pakar teori konspirasi Bart Sibrel berhadapan dengan Buzz Aldrin dan memanggilnya "penakut dan seorang pendusta" tentang pendaratan di bulan yang palsu, adalah sebuah pukulan telak dari Sibrel untuk 72 tahun usia pendaratan Astronot AS di bulan.



8. Iklan kilas

Pernahkah ketika anda menonton film di bioskop dan tiba-tiba diberi makanan ringan atau permen dengan merk tertentu? Atau ketika menonton sebuah acara TV dan tiba-tiba mendapat himbauan yang tidak dapat dicegah untuk membeli sebuah mobil baru? Jika demikian, anda mungkin korban dari sebuah konspirasi iklan kilas!

Para penganjur termasuk Wilson Bryan Key (pengarang buku “Subliminal Seduction” atau godaan di bawah sadar) dan Vance Packard (pengarang buku "Hidden Persuaders" atau penganjur-penganjur tersembunyi), kedua buku tersebut mengklaim adanya pesan-pesan kepada alam bawah sadar di dalam iklan yang merajalela dan merusak. Buku-buku tersebut telah menyebabkan kepanikan publik dan mengarahkan kepada sebuah tatap muka dengan FCC. Sebagian dari isi buku-buku itu diragukan, dan beberapa hasil studi berupa pengaruh iklan terhadap alam bawah sadar yang diungkapkannya adalah palsu.

Sekitar tahun 1980-an, perhatian terhadap pesan-pesan di bawah sadar yang disebarkan kepada kelompok-kelompok seperti Styx dan Judas Priest, dimana kelompok yang disebutkan terakhir telah digugat pada tahun 1990 karena menurut dugaan telah menyebabkan terjadinya kasus bunuh diri anak remaja disebabkan pesan-pesan di bawah kesadaran (kasus itu kemudian ditutup).

Proses mental di alam bawah sadar benar-benar ada, dan dapat diuji. Dengan hanya disebabkan seseorang memperepsikan sesuatu (sebuah pesan dari iklan, contohnya) yang apabila diperhitungkan memang sangat kecil artinya. Tidak ada manfaat yang lebih dari iklan kilas dibandingkan dengan iklan reguler, coba bandingkan iklan kilas yang hanya tiga detik dengan iklan yang berdurasi dua puluh penuh.

Untuk melihat sesuatu selama selang waktu beberapa detik adalah mudah; para pembuat film melakukan hal tersebut terus-menerus (coba amati beberapa bagian film klasik "Psycho" karya Alfred Hitchcock). Tapi untuk membeli atau melakukan sesuatu yang didasarkan pada iklan kilas beberapa detik adalah hal yang lain sama sekali. (Konspirasi-konspirasi itu diparodikan di sebuah televisi pada tahun 1980-an dalam acara Max Headroom, di mana penonton-penonton sedang marah setelah melihat pesan-pesan di bawah sadar disebut "blipverts.")


9. Kematian Putri Diana

Di dalam jam-jam kematian Putri Diana pada tanggal 31 Agustus 1997, di terowongan jalan raya Paris, teori-teori konspirasi berseliweran. Seperti halnya kasus kematian John F. Kennedy, gagasan mengenai orang yang dicintai publik dan figur kelas tinggi yang tiba-tiba terbunuh sangat menggoncangkan. Khususnya untuk seorang Putri Diana. Orang sering mendengar orang-orang kerajaan yang meninggal karena sudah tua, intrik politik, atau terlalu banyak makan makanan yang enak, tapi tidak pernah ada yang didapati telah dibunuh oleh seorang pengemudi yang mabuk.

Tidak seperti umumnya teori konspirasi, untuk kasus ini telah dilibatkan seorang milyuner yakni Mohammad Al-Fayed, ayah dari Dodi Al-Fayed yang ikut terbunuh bersama Diana. Al-Fayed mengklaim bahwa kecelakaan tersebut pada kenyataannya adalah sebuah pembantaian yang dilakukan oleh para agen intilijen Inggris, atas permintaan dari keluarga kerajaan. Klaim dari Al-Fayed diuji dan kemudian dibubarkan sebagai sesuatu yang tidak beralasan oleh sebuah pemeriksaan pada tahun 2006. Pada tahun berikutnya, 2007, pada pemeriksaan mayat Putri Diana, pemeriksa mayat menyatakan bahwa "Teori konspirasi yang dikemukakan oleh Mohamed Al Fayed diteliti dan diuji, dan ditunjukkan dengan tidak disertai substansinya." Pada tanggal 7 April pada tahun itu, dewa juri pemeriksa mayat menyimpulkan Diana dan Al-Fayed telah dibunuh secara melawan hukum disebabkan kealpaan supirnya yang mabuk dan kejaran paparazzi.


10. Konspirasi dalam peristiwa 9/11

Bukti yang berlimpah mengarahkan pada kesimpulan bahwa serangan teroris yang terjadi terhadap gedung kembar WTC (World Trade Center) di New York pada tanggal 11 September 2001, adalah benar-benar hasil dari sebuah konspirasi. Tidak ada keraguan tentang itu: Baik dari dekat atau sepintas lalu apabila memperhatikan bukti membuatnya jelas bahwa ada sesuatu yang secara hati-hati direncanakan dan dieksekusi oleh para konspirator. Pertanyaannya, tentu saja, adalah siapa saja para konspirator tersebut? Osama bin Laden dan teman-temannya yang menjadi pembajak-pembajak adalah bagian dari konspirasi, tapi bagaimanakan kedudukan President Bush dan Wakil President Dick Cheney dalam kasus ini? Apakah kepala penasehat Bush, termasuk Paulus Wolfowitz dan Donald Rumsfeld juga bekerja sama dengan Osama bin Laden, atau dengan sengaja membiarkan serangan-serangan itu terjadi? Atau dengan kata lain, apakah itu pekerjaan jahat?

Pakar teori konspirasi percaya, dan menunjuk sebuah katalog yang berisi dugaan-dugaan ketidakkonsistenan terhadap "versi yang resmi" dari serangan tersebut. Banyak dari klaim-klaim teknik konspirasi yang diekspos oleh majalah Popular Mechanics pada bulan Maret 2005, selagi klaim-klaim yang lain disangkal oleh logika sederhana. Majalah tersebut menyebutkan: Jika pesawat udara yang ditabrakkan ke Pentagon itu tidak hancur, seperti yang beberapa kali dikemukakan, lalu di manakah pesawat dengan nomor penerbangan 77 tersebut beserta para awak dan penumpangnya berada? Adakah mereka sedang bersama dengan alien-alien Roswell di Hangar 18? Di dalam banyak teori konspirasi, ketidakcakapan birokratis sering membuat kesalahan dalam konspirasi. Pemerintah yang sangat efisien, banyak pengetahuan, dan kapabel - begitu penuh penalaran – dimana serangan seperti itu tidak dapat dimungkinkan terjadi, ternyata telah digagalkan oleh pekerjaan buruk dalam mendeteksi atau merespon kejadian sebelum terjadinya serangan-serangan itu. Suatu hal sulit untuk dipercaya.

Sumber : http://www.wikimu.com

Read More......