“..Apa yang pertama-tama mengganggu hati nurani kita

bukanlah obyek dari pengalaman inderawi,

melainkan bayangan-bayangan kita..”

Adam Smith



Baru-baru ini, Jakarta mengalami bencana banjir. Banyak korban, baik materil maupun moril. Bantuan pun berdatangan dari berbagai pihak. Hati kita pedih melihat tayangan televisi yang menggambarkan bagaiamana air menelan harta benda korban. Bahkan, di beberapa tempat, bencana banjir juga meminta korban nyawa. Melihat semua fenomena ini, hati kecil saya bertanya, ketika kita mengetahui bahwa banyak korban akibat bencana tersebut, elemen manakah di dalam diri yang mendorong kita untuk segera memberikan pertolongan? Kita selalu bertanya-tanya di dalam hati kita, mengapa kita merasa iba terhadap orang lain? Mengapa kita terdorong untuk bertindak baik kepada orang lain bahkan sebelum ada alasan-alasan yang rasional yang bisa dipertanggungjawabkan dari tindakan itu? Sejarah pemikiran filsafat moral terbelah dua, ketika para filsuf berupaya memberikan jawaban atas pertanyan itu.
Di satu sisi, ada filsuf yang berpendapat bahwa alasan terdalam yang mendorong manusia untuk bertindak baik dan merasa iba pada orang lain dapatlah ditemukan di dalam rasio manusia itu sendiri. Kant adalah tokoh yang paling eksplisit mengungkapkan hal ini. Ia berpendapat bahwa tindakan baik selalu didorong oleh adanya imperatif kategoris yang berdiri tegak di dalam rasio manusia, dan mewajibkannya untuk melakukan kebaikan. Dengan kata lain, kebaikan adalah kewajiban yang melekat di alam rasio manusia. Tindakan baik tidaklah didorong oleh perasaan ataupun emosi, karena jika begitu, maka dasar dari tindakan tersebut tidak dapat dipastikan ataupun diukur secara rasional. Akibatnya, tindakan baik jadi relatif, bagus jika dilakukan, jika tidak yah tidak apa-apa. Etika Kant jelas menolak dasar yang terakhir ini, dan merumuskan suatu imperatif bahwa tindakan baik adalah kewajiban manusia yang paling agung, serta mengatasi semua bentuk emosi.



Sementara, di sisi lain, ada filsuf yang berpendapat sebaliknya dengan menyatakan bahwa yang mendorong manusia berbuat baik pertama-tama bukanlah kewajiban rasional, melainkan perasaan moralnya. Manusia memiliki semacam prinsip-prinsip hakiki di dalam dirinya yang membuatnya peka terhadap kebahagiaan maupun penderitaan orang lain. Dengan demikian, yang menjadi otoritas penentu bukanlah pertimbangan-pertimbangan rasional, melainkan pertama-tama adalah perasaan moral kita. Tesis ini sangat menarik untuk menganalisis mengapa orang dapat merasa iba, dan kemudian terdorong untuk melakukan tindakan baik. Di tataran yang lebih luas lagi, tesis ini juga tampaknya memberikan semacam sinyalemen kepada kita, bahwa peradaban manusia lebih didorong oleh perasaan semacam ini daripada oleh rasionalitas. Schopenhauer sangat terkenal dengan tesisnya tentang hal ini. Ia berpendapat bahwa rasio adalah budak dari kehendak. Kehendak adalah elemen utama yang mendorong bergeraknya seluruh realitas. Pada titik ini, kita tentunya bisa menarik semacam kesimpulan hipotetis, bahwa perubahan itu tidak datang dari kesadaran rasio manusia untuk melakukan perubahan menuju ke arah yang lebih baik, melainkan dari pengaturan perasaan-perasaan kolektif masyarakat itu sendiri. Perasaan kolektif itu tentunya harus dirumuskan terlebih dahulu. Maka, kita perlu memahami logika dari perasaan sebelum membuat perubahan berdasarkan mood kolektif ini.



Adam Smith adalah filsuf yang merumuskan “logika dari perasaan” dengan sangat baik. Bukanlah buku Wealth of Nations yang membuat Adam Smith menjadi mula-mula seorang teoritikus yang disegani, melainkan sebuah buku tentang kodrat alamiah manusia yang memiliki perasaan moral, dan implikasi etisnya yang berjudul The Theory of Moral Sentiments. Buku itu terjual habis seminggu setelah penerbitannya. Di dalam buku itu, ia mengajukan pertanyaan yang sangat penting, mengapa kita menghargai suatu tindakan tertentu sebagai baik, dan menilai suatu tindakan lainnya sebagai buruk? Pada masa di mana ia hidup, setidaknya, jawaban atas hal ini terbagi menjadi dua. Pertama, beberapa orang berpikir bahwa kriteria yang baik dan yang buruk adalah kesesuaian dengan hukum, dan hukum ditentukan oleh penguasa. Maka, kriteria yang baik dan yang buruk adalah milik penguasa. Yang kedua, bahwa prinsip-prinsip moral dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan universal.



Buku tulisan Adam Smith tidak mengikuti dua pendapat umum tersebut, melainkan bergerak ke arah yang sama sekali berlainan. Ia berpendapat bahwa setiap orang sudah selalu lahir dengan memiliki perasaan moral, sama seperti mereka selalu sudah mempunyai ide tentang keindahan di dalam dirinya. Hati nurani kitalah yang membuat kita mampu berkata, ini baik, dan ini tidak baik. Hati nurani ini adalah sesuatu yang sudah tertanam di dalam diri kita, dan bukan sesuatu yang dirumuskan oleh para legislator hukum, ataupun para filsuf yang merumuskan kebaikan secara rasional. Dan untuk memperkuat hati nurani ini, kita memiliki semacam perasaan alamiah tentang orang lain (natural fellow-feeling), yakni apa yang disebut Smith sebagai simpati. Simpati dan hati nurani inilah yang memastikan bahwa setiap manusia dapat hidup bersama secara teratur tanpa saling menghancurkan.



Dengan demikian, moralitas adalah sesuatu yang sudah ada di dalam kodrat alamiah, dan bukan konstruksi akal budi kita. Mungkin, refleksi Smith tentang “tangan yang tak kelihatan” juga merupakan mekanisme yang sama dengan refleksi moralnya. The Theory of Moral Sentiments dapat dikatakan merumuskan semacam liberalisme terselubung, di mana pengaturan masyarakat bukanlah sesuatu yang disengaja, melainkan melulu produk dari tindakan langsung manusia itu sendiri. Tulisan ini ingin membahas pemikir Smith di dalam buku tersebut, terutama tentang simpati dan moralitas yang merupakan dua konsep utamanya. Teori moral Smith juga menunjukkan adanya semacam revolusi di dalam pemikiran etika, yakni revolusi dari pertimbangan aku menuju ke pertimbangan orang lain, dan tentang pengamat yang tidak berpihak.

***



Sebelum memasuki pemikiran Smith tentang simpati, ada baiknya penulis menjelaskan dulu apa yang dimaksud dengan judul buku The Theory of Moral Sentiment. Sentiment disini berarti perasaan. Moral sentiment berarti perasaan tetang kesetujuan, ketidaksetujuan, rasa terima kasih, dan sebagainya atas tindakan saya ataupun tindakan orang lain. Sementara, theory diambil dari kata Yunani yang berarti menjadi seorang pengamat. Kata ini memiliki arti yang berlawanan dengan praksis, di mana orang tidak hanya menjadi pengamat, melainkan juga menjadi partisipan. Di dalam pemikiran Aristoteles, pemikiran teoritis ditempatkan dalam kedudukan yang berlawanan dengan pengetahuan praktis, yakni pengetahuan yang diorientasikan untuk mendorong tindakan. Etika digolongkannya sebagai pengetahuan praktis. Buku yang ditulis Smith bukanlah suatu jenis etika. Buku itu tidaklah bersifat praktis, melainkan suatu teori tentang perasaan moral. Mungkin, kita dapat menggolongkan buku ini di dalam psikologi moral. Smith tidak memaksudkan kata teori sebagai sesuatu yang dipertentangkan dengan faktualitas, seperti yang banyak dipahami sekarang ini (studi teoritis seringkali abstrak, hipotetis, dan spekulatif). Ia mau memberikan analisis terhadap berbagai perasaan dan kecenderungan psikologis yang terkait dengan moralitas, dan mengajak pembaca tulisannya untuk menguji pengalaman mereka sendiri tentang perasaan-perasaan ini. Dalam arti tertentu, buku ini juga dapat digolongkan etika, karena ia sendiri berpendapat bahwa perasaan moral adalah dasar yang memadai bagi suatu penilaian moral. Kita menilai suatu tindakan sebagai salah, ketika kita merasakan adanya ketidaksetujuan pada saat kita melihat tindakan tersebut.



Analisis tentang berbagai perasaan dan kecenderungan psikologis moral memiliki sejarah yang panjang. Nichomachean Ethics, buku tulisan Aristoteles, terutama pada Book III-VI, serta literatur-literatur Kristiani banyak menganalisis problem yang sama. Pada abad ke 17, para sejarahwan membuat daftar para filsuf yang menulis tentang passion. David Hume adalah salah satunya. Ia berpendapat bahwa di balik sikap egoisme manusia, ada suatu perasaan moral yang tidak dapat dikesesampingkan begitu saja. Adam Smith juga berpendapat sama. “Bagaimanapun manusia diandaikan bersikap egois,” demikian tulisnya, “ selalu ada beberapa prinsip di dalam kodratnya, yang membuat dia tertarik kepada keberuntungan orang lain, dan menjadikan kebahagiaan mereka juga menjadi miliknya, walaupun ia tidak mendapatkan apapun darinya kecuali kesenangan melihatnya.”[1]



Walaupun judul buku itu adalah tentang perasaan moral, tetapi konsep yang paling mendasar di sana bukanlah perasaan moral itu sendiri, melainkan simpati. Simpati adalah prinsip hakiki yang sudah inheren di dalam diri manusia. Manusia sudah secara alamiah mempunyai semacam prinsip-prinsip inheren yang membuatnya mampu memberi perhatian pada kebahagian orang lain, dan bahwa ia juga sedapat mungkin berupaya mewujudkan kebahagiaan itu. Prinsip ini berlaku universal bagi setiap manusia. Prinsip ini dapat dibuktikan dengan pengamatan yang kasat mata, jika tidak dianggap terbukti dengan sendirinya. Simpati adalah membayangkan diriku pada sebuah situasi, dan membayangkan bagaimana reaksi emosionalku pada saat itu. Simpati ini secara literer berarti “merasa bersama”. Biasanya, kata ini juga berarti perasaan sedih ketika melihat orang lain terluka. Akan tetapi, ia memperluas arti kata itu dengan memasukkan perasaan senang ketika orang lain senang, dan begitu juga dengan semua perasaan lainnya.[2] “Kesedihannya,” demikian Smith, “ketika mereka membawa ke diri kita sendiri, ketika kita mengambilnya dan membuatnya menjadi milik kita, mulai mempengaruhi kita, dan kita gemetar atas apa yang dirasakannya.”[3] Dengan demikian, simpati adalah perasaan bersama (fellow-feeling) yang muncul dengan membayangkan diriku di situasi lain, dan membayangkan apa yang kurasakan di situasi itu. Kita menyetujui suatu tindakan, jika kita dapat bersimpati pada tindakan itu. Ketika kita membayangkan diri kita di dalam situasi orang lain, kita seolah-olah memasuki perasaan orang itu, dan memahami apa yang menjadi motivasi dari tindakannya. Jika kita merasa bahwa kita tidak dapat menyetujui motivasi tindakannya, maka kita tidak dapat memberikan persetujuan.



Kita menilai tindakan kita juga dengan cara yang sama. Setiap tindakan selalu memiliki motivasi, entah disadari atau tidak. Akan tetapi, kita bisa bertanya, apakah orang lain juga dapat setuju dengan motivasi kita ini? Orang lain yang berada di dalam situasi ini dan merasa marah, berarti ia tidak setuju dengan motivasi kita. Kita juga bisa membayangkan adanya pengamat yang tak berpihak, yakni orang yang memiliki informasi memadai tentang situasi kita, tetapi tidak terikat dengan cara-cara yang khusus, baik sebagai teman ataupun sebagai lawan. Nah, apakah pengamat yang tak berpihak ini dapat setuju dengan perasaan serta motif dari tindakan saya? Jika ia setuju, maka saya dapat melakukan tindakan yang akan saya lakukan. Jika tidak, maka saya tidak bisa melakukannya. Untuk menentukan apakah pengamat yang tidak berpihak tersebut setuju atau tidak, maka saya harus membayangkan diri saya berada di dalam posisi pengamat tersebut, dan membayangkan diri saya tengah merasakan perasaan pengamat itu, serta memutuskan apakah saya dapat memahami motif-motif tindakan yang tengah saya lakukan. Dengan kata lain, kita mencoba melihat diri kita seperti orang lain melihat kita. Perasaan seorang pengamat haruslah tumbuh secara bersama dari pertimbangan akan apa yang akan ia sendiri rasakan, jika ia berada di dalam situasi yang tidak berbahagia..



Yang harus dicatat, Smith berpendapat bahwa kita menilai apakah motif seseorang itu pantas atau tidak bukan dengan membandingkan motif ini dengan kriteria rasional yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan dengan membayangkan apakah kita dapat merasakan motif yang sama, jika kita berada di dalam situasi itu (atau dengan apa yang dirasakan oleh pengamat tidak berpihak (impartial spectator), ketika berada dalam situasi yang sama). Ini adalah semacam intusionisme. Misalnya, kita berkata, “hari tampak mendung bagi saya.” Lalu, orang lain berkata, “Apakah sungguh-sungguh mendung?” Maka, satu-satunya yang dapat saya lakukan adalah mengajak orang tersebut melihat langit dari posisi saya. Tidak ada argumentasi yang bisa memaksakan orang tersebut untuk berpendapat sama dengan saya, jika saya tidak mengajaknya melihat langit dari posisi saya. Kita tidak dapat menguji atau membenarkan suatu penilaian atas tindakan kita dengan dasar-dasar rasional abstrak. Kita hanya dapat melakukannya dengan membayangkan apakah pengamat yang tidak berpihak akan setuju dengan penilaian kita, atau tidak.



Perasaan orang lain merupakan kriteria dan ukuran bagi penilaian moral kita. Tindak menyetujui suatu tindakan juga berarti kita mengadopsi persepsi mereka, dan mengadopsi berarti kita menyetujuinya. Jika argumen yang sama dapat meyakinkan baik kita maupun orang lain, maka argumen tersebut dapat dinilai sebagai memadai. Dalam kasus melihat langit yang mendung tadi, kita mungkin dapat bertanya kepada diri kita sendiri, apakah mendung menurut kita juga sesuai dengan kriteria langit mendung menurut orang lain? Smith tidak menyatakan bahwa apa yang kita anggap sebagai benar adalah benar sepenuhnya. Hanya jika telah melalui pertimbangan yang penuhlah kita dapat yakin akan sesuatu, dan bertindak berdasarkan keyakinan itu. Pertimbangan itu tentunya mengikutsertakan pertimbangan dari orang lain, maupun dari pengamat yang tidak berpihak.



Protagoras, seorang filsuf Yunani Kuno, berpendapat bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya, baik sesuatu yang buruk menjadi buruk, ataupun sesuatu yang baik, sehingga itu baik. Adam Smith memiliki argumen yang searah, namun tak sama, yakni bahwa kita menilai orang lain dengan penilaian kita, kita mencoba mendengar apa yang didengarkan orang lain dengan telinga kita. Kita mencoba menebak pikiran orang lain dengan pikiran kita. Bahkan, kita mencoba menebak rasa cinta orang lain dengan rasa cinta kita. Maklum, kita tidak mempunyai cara yang lain selain cara ini. “Setiap fakultas yang ada di dalam diri manusia”, demikian Smith, “adalah kriteria yang memungkinkan dia menilai, saya menilai apa yang anda lihat dengan apa yang saya lihat, apa yang anda dengan dengan apa yang saya dengar, apa yang anda rasakan dengan apa yang saya rasakan, cinta anda dengan cinta saya.”[4]



Di samping itu, ada beberapa kasus, di mana kita dapat setuju tanpa melibatkan simpati ataupun perasaan moral kita. Di dalam situasi semacam ini, kita mendasarkan penilaian kita pada upaya sebelumnya untuk bersimpati dengan kasus yang serupa. Yang dibutuhkan adalah pertimbangan yang lebih matang tentang situasi yang ada, dan simpati otomatis akan timbul, terutama di dalam situasi yang kita setujui. Hal ini adalah inti utama dari argumentasi yang dikembangkan oleh Smith, yakni simpati merupakan sebuah tindak menggeneralisasi upaya kita untuk bersimpati dengan suatu tindakan partikular.



Dengan demikian, kita tidak memerlukan keutamaan khusus untuk merumuskan suatu prinsip umum, karena prinsip umum tersebut merupakan generalisasi dari tindakan-tindakan partikular. Sikap kita terhadap suatu kasus partikular tidak membutuhkan suatu keutamaan moral tertentu, karena sikap kita merupakan wujud konkret dari reaksi emosional yang wajar, seperti marah, senang, dan sebagainya. Maka, penilaian moral merupakan suatu ekspresi kesetujuan ataupun ketidaksetujuan antara reaksi perasaan ini, dan reaksi yang dibayangkan dari seorang pengamat yang tidak berpihak. “Di dalam semua kasus”, demikian Smith, “di mana ada korespondensi perasaan antara pengamat dengan orang yang terkait, pengamat haruslah, pertama-tama, berupaya, sedapat mungkin, menempatkan dirinya di dalam situasi orang lain, dan untuk membawa keadaan sedikit yang mungkin saja muncul di orang itu..”[5]



Adam Smith adalah teman dekat dari David Hume. Pemikiran Smith pun banyak dipengaruhi oleh Hume. Akan tetapi, Smith juga tidak setuju dengan beberapa pendapat Hume. Ketidaksetujuan yang paling tajam adalah bidang etika. Menurut Hume, alasan bahwa kita menilai suatu tindakan sebagai baik adalah kegunaan yang timbul dari tindakan itu, baik bagi orang yang menjadi obyek tindakan, ataupun bagi umat manusia secara keseluruhan. Smith menolak argumen ini. Ia memang setuju bahwa suatu tindakan yang dinilai sebagai baik secara moral tentu memiliki kegunaan tertentu. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa bukan kegunaanlah yang menjadi dorongan utama, sehingga kita menganggap suatu tindakan sebagai baik. Kegunaan sebagai prinsip utama suatu tindakan moral merupakan kesimpulan para pemikir yang cenderung tidak melihat intensi parikular, melainkan terjebak pada generalisasi untuk merumuskan prinsip-prinsip abstrak. Tesis bahwa kita mencintai keutamaan hanya karena kegunaannya merupakan ilusi yang banyak dirumuskan oleh para filsuf yang cenderung mengabstraksi, sehingga kehilangan nuansa partikular yang konkret. Dalam kehidupan sehari-hari, orang cenderung setuju atau tidak setuju akan sesuatu dengan menjadi reaksi emosional mereka sebagai dasar dari penilaian. Dasar dari penilaian moral mereka adalah suatu tindakan yang mempertimbangkan aspek sebab akibat dan situasi konkret, serta bukan kegunaannya.



Dengan demikian, Smith secara jelas menolak tesis David Hume yang melihat dasar dari tindakan moral adalah kegunaannya. Keadilan juga bukanlah masalah fungsionalitas semata. Konsep keadilan sangat tergantung dari reaksi kita terhadap kasus-kasus partikular. Di dalam kehidupan bermasyarakat, penerapan keadilan mutlak diperlukan. Akan tetapi, keadilan bukanlah diciptakan untuk menguntungkan masyarakat. Menurut Smith, Tuhanlah yang menciptakan keadilan, dan meletakkan ide itu di dalam hakekat manusia. Kita mengecam ketidakadilan lebih-lebih bukanlah karena rasio kita berkata begitu, melainkan emosi alamiah dan spontan yang kita miliki. Bahwa reaksi ini memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat bukanlah suatu pertimbangan primer. Perlindungan dan perkembangan masyarakat adalah suatu konsekuensi yang tidak direncanakan dari ketidaksetujuan setiap orang terhadap semua bentuk ketidakadilan. Alam dan Tuhanlah yang membuat perlindungan dan perkembangan masyarakat menjadi mungkin. Pola yang sama juga dapat ditemukan di dalam teori ekonomi Smith, yakni masyarakat adalah hasil yang tidak direncanakan dari tindakan individual yang saling mengejar kepentingan dirinya masing-masing.



***

Perasaan adalah sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Manusia yang tanpa perasaan sama seperti mayat hidup yang berjalan. Demikianlah Smith menegaskan bahwa perasaan memungkinkan manusia untuk bersimpati, yakni untuk mengambil posisi dari perspektif orang lain, sehinga pertimbangan orang lain menjadi bagian penting di dalam penilaian moral kita. Tidak hanya itu, manusia juga harus mampu membayangkan bahwa ada sosok yang disebut sebagai pengamat yang tak berpihak, yang dapat menilai secara obyektif semua tindakan, sehingga penilaian moral juga nantinya dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan membayangkan adalah mutlak diperlukan disini. Rasio tanpa perasaan tidak akan membuat manusia terdorong untuk berbuat kebaikan. Karena, berbuat baik mengandaikan orang mampu membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi orang yang menderita. Oleh karena itu, berbuat baik membutuhkan simpati, dan simpati membutuhkan perasaan. Baru setelah perasaan kita tergerak untuk membantu orang yang memerlukan, maka rasio kita baru dapat memutuskan langkah-langkah strategis apakah yang mesti dilakukan. Apakah rasio kemudian hanyalah budak dari perasaan?



Saya pikir kesimpulan bahwa rasio adalah budak dari perasaan masihlah terlalu dini untuk dipastikan hanya dengan argumentasi Smith. Alasannya sederhana, Smith berupaya merumuskan sebuah teori tentang perasaan, dan dengan tindakan ini, ia sudah selalu mengandaikan dan menggunakan rasionya. Orang tidak mungkin menulis tanpa menggunakan rasionya, begitu pula dengan Smith. Akan tetapi, kita bisa semakin sadar bahwa manusia seringkali lebih kuat terdorong untuk berbuat baik, jika perasaanya disentuh. Smith juga mampu menjelaskan bahwa manusia lebih sering menilai sesuatu sebagai baik dan buruk bukan dengan pertimbangan rasionalnya, melainkan dengan perasaan, dengan simpatinya, dan dengan apa yang ia rasakan secara spontan, ketika melihat suatu perbuatan. Setelah momen spontan itu, barulah rasio masuk dan mengajukan pertimbangan-pertimbangan.



Refleksi Smith dapat membuat kita sadar betapa manusia itu memiliki potensi dan dimensi yang sangat luas di dalam dirinya, bahwa perasaan manusia itu bagaikan lautan pemahaman yang seringkali melampaui pertimbangan-pertimbangan rasional. Mungkin, perubahan masyarakat tidak mungkin dilakukan, jika kita tidak segera merumuskan suatu cara bagaimana perasaan kolektif masyarakat dapat diatur demi mencapai keadaan yang lebih baik. Mungkin, bukanlah rasio dengan segala pertimbangannyalah yang mampu membuat masyarakat maju, tetapi pengaturan perasaan-perasaan kolektif yang ada di masyarakat. Dengan demikian, fungsi rasio dapat berubah dari pilar otoritas penentuan segala kebijakan menjadi cara untuk mengatur berbagai perasaan kolektif yang ada, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih jauh. Mungkin. Kita lihat saja…

0 komentar